Perceraian adalah salah satu wujud probÂlem sosial yang memprihatinkan. Jika terjadi perkawinan maka otomatis akan terjadi orang miskin baru di dalam masyarakat, yaitu anak-anak dan perempuan. Tadinya kuliah atau sekolahnya di sekolah unggulan tetapi setelah perceraian maka anak-anak menjadi korban putus sekolah atau sekolah di tempat murahÂan. Indonesia juga belum menjadi tempat yang ramah terhadap janda. Mereka selalu serba salah. Bersoleh salah tidak bersolek salah. Banyak keluar rumah salah tidak keluar rumah juga salah. Mereka juga tidak bisa menguasai harta yang selama ini dimilikinya karena hamÂpir semuanya atas nama suami, seperti STNK motor, sertifikat tanah, akte perusahaan, dan harta tidak bergerak lainnya. Memang ada huÂkum gono-gini tetapi dalam kenyataannya beÂlum bisa diakses kaum perempuan. Rumah dan kendaraan yang atas nama suami tidak bisa diÂjual tanpa tanda tangannya. Terkadang alasan teknis misalnya tunggu harga yang cocok baru mau. Tetapi jika dia yang butuh di bawah harga pasaran pun dijualnya.
Data-data yang ada di Pengadilan agama menunjukkan angka perceraian meningkat sigÂnifikan dari tahun ke tahun. Perkawinan setÂiap tahun sekitar 2 juta pasang dan yang cerai sekitar 200.000 pasang, atau 10% dari jumlah tersebut. Perceraian itu didominasi oleh kasus cerai gugat, yaitu isteri mengajukan cerai gugat suaminya (70%). Yang tak kalah menariknya perceraian itu didominasi oleh usia perkawinan yang masih muda (80%). Ini artinya anak-anak mereka masih kecil-kecil dan ibunya menjadi janda dalam usia muda. Tentu keadaan seperti ini akan memberikan dampak sosial lebih rumit dan lebih luas, karena populasi anak-anak yaÂtim di bawah umur dan janda muda lebih banÂyak.
Penyebab perceraian itu juga bervariasi, muÂlai yang masalah yang prinsip sehingga tidak bisa ditolerir sampai kepada hal-hal yang rinÂgan yang sesungguhnya tidak masuk akal, seperti perceraian karena faktor politik, yang hanya karena perbedaan pilihan dalam PemiluÂkada tiba-tiba harus membubarkan rumahtangÂganya. Kalau hal itu terjadi dalam jumlah puÂluhan masih wajar, tetapi kalau sudah terjadi di atas 400 pasang setiap tahun maka itu sulit dimengerti. Faktor penyebab perceraian dipicu juga oleh media, terutama media infotaimen yang menjangkau masyarakat sampai peloÂsok pedesaan. Seolah-olah perceraian bukan lagi sesuatu yang aib seperti di masa lampau, tetapi ada kecenderungan menjadi sebuah keÂbanggan.
Kantor Pengadilan Agama membuat koÂlom penyebab perceraian antara lain karena ketidakcocokan, poligami, perselingkuhan, perÂbedaan jarak usia, pendidikan, kelas sosial, dan stratifikasi sosial, cacat tubuh, salahseÂorang di antaranya terpidana, faktor ekonomi, campur tangan orang tua, murtad atau perbeÂdaan agama dan kepercayaan, karena penyakit tertentu, dan yang tidak terbayang sebelumnya ialah karena perbedaan politik, misalnya dalam pemilukada suami memilih si Adan istri memili si B, ujung-ujungnya cerai. ***