Mempersiapkan Khaira Ummah (22)

Mencermati Lonjokan Perceraian

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Rabu, 08 Maret 2017, 09:24 WIB
Mencermati Lonjokan Perceraian
Nasaruddin Umar/Net
SALAH satu tantangan un­tuk meraih khaira ummah ialah fenomena melon­jaknya angka perceraian. Perlu dikaji lebih mendalam, mengapa angka perceraian itu semakin hari semakin meningkat tajam? Apa yang salah di dalam sistem ru­mah tangga umat dalam dasawarsa terakhir? Bukankah rumah tangga itu sebagai wahana pembinaan umat masa de­pan? Bagaimana jadinya umat masa depan jika kebanyakan di antara mereka produk-produk rumah tangga berantakan? Akankah umat kita di masa depan semakin bobrok? Bagaimana mengatasi semua ini?

Perceraian adalah salah satu wujud prob­lem sosial yang memprihatinkan. Jika terjadi perkawinan maka otomatis akan terjadi orang miskin baru di dalam masyarakat, yaitu anak-anak dan perempuan. Tadinya kuliah atau sekolahnya di sekolah unggulan tetapi setelah perceraian maka anak-anak menjadi korban putus sekolah atau sekolah di tempat murah­an. Indonesia juga belum menjadi tempat yang ramah terhadap janda. Mereka selalu serba salah. Bersoleh salah tidak bersolek salah. Banyak keluar rumah salah tidak keluar rumah juga salah. Mereka juga tidak bisa menguasai harta yang selama ini dimilikinya karena ham­pir semuanya atas nama suami, seperti STNK motor, sertifikat tanah, akte perusahaan, dan harta tidak bergerak lainnya. Memang ada hu­kum gono-gini tetapi dalam kenyataannya be­lum bisa diakses kaum perempuan. Rumah dan kendaraan yang atas nama suami tidak bisa di­jual tanpa tanda tangannya. Terkadang alasan teknis misalnya tunggu harga yang cocok baru mau. Tetapi jika dia yang butuh di bawah harga pasaran pun dijualnya.

Data-data yang ada di Pengadilan agama menunjukkan angka perceraian meningkat sig­nifikan dari tahun ke tahun. Perkawinan set­iap tahun sekitar 2 juta pasang dan yang cerai sekitar 200.000 pasang, atau 10% dari jumlah tersebut. Perceraian itu didominasi oleh kasus cerai gugat, yaitu isteri mengajukan cerai gugat suaminya (70%). Yang tak kalah menariknya perceraian itu didominasi oleh usia perkawinan yang masih muda (80%). Ini artinya anak-anak mereka masih kecil-kecil dan ibunya menjadi janda dalam usia muda. Tentu keadaan seperti ini akan memberikan dampak sosial lebih rumit dan lebih luas, karena populasi anak-anak ya­tim di bawah umur dan janda muda lebih ban­yak.

Penyebab perceraian itu juga bervariasi, mu­lai yang masalah yang prinsip sehingga tidak bisa ditolerir sampai kepada hal-hal yang rin­gan yang sesungguhnya tidak masuk akal, seperti perceraian karena faktor politik, yang hanya karena perbedaan pilihan dalam Pemilu­kada tiba-tiba harus membubarkan rumahtang­ganya. Kalau hal itu terjadi dalam jumlah pu­luhan masih wajar, tetapi kalau sudah terjadi di atas 400 pasang setiap tahun maka itu sulit dimengerti. Faktor penyebab perceraian dipicu juga oleh media, terutama media infotaimen yang menjangkau masyarakat sampai pelo­sok pedesaan. Seolah-olah perceraian bukan lagi sesuatu yang aib seperti di masa lampau, tetapi ada kecenderungan menjadi sebuah ke­banggan.

Kantor Pengadilan Agama membuat ko­lom penyebab perceraian antara lain karena ketidakcocokan, poligami, perselingkuhan, per­bedaan jarak usia, pendidikan, kelas sosial, dan stratifikasi sosial, cacat tubuh, salahse­orang di antaranya terpidana, faktor ekonomi, campur tangan orang tua, murtad atau perbe­daan agama dan kepercayaan, karena penyakit tertentu, dan yang tidak terbayang sebelumnya ialah karena perbedaan politik, misalnya dalam pemilukada suami memilih si Adan istri memili si B, ujung-ujungnya cerai. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA