Kecenderungan terakhir pola migrasi umat yang sangat cepat dan luas. Perkembangan sains dan teknologi, terutama di sektor transporÂtasi dan didukung pertumbuhan ekonomi umat yang semakin baik, mengharuskan pemimpin umat untuk mengantisipasi sejumlah kemungÂkinan yang mungkin tidak pernah ditemukan di dalam lintasan sejarah. Pola migrasi umat seÂlama dua dekade terakhir menimbulkan wajah baru dunia Islam. Mereka secara besar-beÂsaran melakukan eksodus ke negara-negara maju seperti di Eropa, Amerika, Australia, dan Asia Selatan. Mereka eksodus karena krisis politik, ekonomi, dan sosial di negerinya, teruÂtama di era pasca 'Badai Gurun' (Arab Spring). Banyak di antara mereka terpaksa hijrah ke negara-negara tujuan yang bisa menampungÂnya untuk menyelamatkan diri sambil mencari lahan kehidupan baru.
Menurut Murad W. Hofmann, mantan Direktur Informasi NATO, dalam bukunya
"Religion on the Rise, Islam in the Third Millennium", akan memÂberikan dampak hegemoni sosial-politik dunÂia, mengingat Islam adalah sistem ajaran yang menuntut loyalitas kepada penganutnya. Menurut Hofmann, pola migrasi komunitas Islam agak berÂbeda dengan komunitas lain. Secara fisik komunÂtas muslim berada di negara lain, bahkan sudah menjadi warga negara (citizen) atau pemegang green card, tetapi loyalitas terhadap negara asalÂnya masih tetap tinggi. Hal itu disebabkan karena ikatan keagamaan paling dominan. Mereka memÂbayar pajak di negeri barunya tetapi masih memÂbayarkan zakat harta, infaq, shadaqah, dan belanÂja-belanja keagamaan lainnya ke negeri asalnya. Ziarah ke maqam leluhur dan guru-guru spiritual tetap rutin dilaksanakan. Sebagian juga masih membangun rumah di negeri asal termasuk dana yang dikumpulkan diinvestasikan ke negeri asalÂnya. Mereka masih sangat terikat dengan negara asalnya, karena tokoh-tokoh keagamaan kharisÂmatik dari negerinya tetap dijalin. Bahkan secara periodik tokoh spiritual itu didatangkan ke negeri baru ini untuk memberikan pencerahan.
Migran muslim di negara-negara barat kini sudah lahir generasi kedua atau ketiga. MereÂka masih tetap dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama Islam. Dari manapun dan di manapun koÂmunitas Islam itu berada selalu menciptakan lingÂkungan sosial unik karena Mereka memiliki simÂbol-simbol perekat (melting pot) berupa mesjid, halal food, pendidikan dasar keagamaan untuk anak-anak mereka, dan majlis taklim untuk para orang tua. Persaudaraan sesame umat Islam dari manapun asalnya sangat akrab satu sama lain di negeri barunya. Mereka bersama-sama memÂbangun sekolah atau madrasah untuk melestariÂkan generasi muslim ideal. Mereka juga menjalin komunikasi dalam bentuk media sosial sehingga antara satu sama lain sangat akrab. Keakraban mereka terutama dapat terlihat seusai menjalankÂan ibadah-ibadah ritual seperti shalat Jum'at, maÂjlis ta’lim, kerja bakti, dll.
Hari-hari raya keagamaan juga sangat intenÂsif mempertemukan antara sesama komunitas muslim. Misalnya hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha sering menjadi ajang pertemuan antar keluarga muslim. Mereka menyelenggarakan shalat 'Id bersama. Dalam bulan Ramadhan ada kegiatan rutin yang disebut buka bersamar shalat tarwih berjamaah, sahur dan tadarruÂsan bersama. Di negeri orang kadang-kadang keakraban satu sama lain lebih terasa, sekaÂlipun berasal dari negara yang berbeda. SoliÂdaritas keagamaan ini memungkinkan adanya kemudahan hidup di negeri orang karena baÂgaimanapun ukhuwah Islamiyah selalu hidup di dalam napas keislaman umat Islam.