WAWANCARA

Natalius Pigai: Freeport Telah Melakukan Penguasaan & Perampasan Tanah Adat Suku Amungme

Kamis, 02 Maret 2017, 09:39 WIB
Natalius Pigai: Freeport Telah Melakukan Penguasaan & Perampasan Tanah Adat Suku Amungme
Natalius Pigai/Net
rmol news logo Komisioner Komnas HAM asal Papua ini menuntut PT Freeport Indonesia (PT FI) memberikan saham dan ganti rugi kepada suku Amungme, karena tambang Grasberg PT FI terletak di pusat wilayah Suku Amungme. PT FI dituding telah merampas tanah adat yang seharusnya menjadi milik Suku Amungme. Berikut penjelasan Natalius Pigai terkait tuntutan Suku Amungme terhadap PT FI;

Anda punya dasar menuduh PT FI merampas lahan milik suku Amungme?
Atas dasar penyelidikan kami yang berlangsung selama dua tahun, sejak awal 2015 sampai kemarin. Kami simpulkan secara sah dan meyakinkan, pemerintah Indonesia dan Freeport te­lah melakukan penguasaan dan perampasan tanah adat suku Amungme. Sebab, kami tidak pernah menemukan bukti transaksi jual beli kepemilikan tanah, baik antara pemerintah dengan suku Amungme, maupun PT Freeport Indonesia dengan Amungme.

Memangnya lahan itu sudah dipastikan sebagai tanah adat milik suku Amungme?
Lho sebelum diambil alih oleh Freeport, di lahan itu ter­dapat hunian suku Amungme, dan menjadi wilayah tempat mereka melakukan segala ak­tivitasnya. Wilayah itu dikenal dengan nama Amungsa. Artinya itu merupakan wilayah adat yang menjadi hak suku Amungme, dan keberadaan wilayah adat itu dijamin oleh konstitusi. Tindakan perampasan sumber daya milik masyarakat adat ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 18B ayat (1), Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 jo, Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah. Selain itu perampasan ta­nah juga dinilai melanggar pasal 1 dan pasal 5 Deklarasi HAMPBB tentang Hak Penduduk Asli (Indigenous People).

Persoalan itu sudah disam­paikan ke Freeport?
Sudah. Selama dua tahun itu kami sudah empat kali berbicara dengan pihak Freeport, dua kali di Jakarta dan dua kali di Papua. Kami berkali - kali menanyakan tentang bukti jual-belinya di mana? Kalau pernah dilakukan transaksi, di mana dilakukannya dan berapa nilainya? Antara siapa dengan siapa, dan mana akta notarisnya.

Lantas apa jawaban Freeport ketika itu?

Mereka hanya menjelaskan sudah bangun rumah sakit, kami sudah dukung pendidikan masyarakat, dan lain sebagainya. Tapi itu kan bagian Coorporate Social Responsibility (CSR), tanggung jawab perusahaan yang normal kepada masyarakat. Tapi ini kan bicara lahan yang kamu ambil, transaksi bisnis yang kamu lakukan.

Kalau dengan pihak terkait lainnya?
Sudah juga. Kami sudah bertemu dengan Pemerintah Kabupaten Timika dua kali, den­gan masyarakat sekitar tiga ka­li. Kami juga sudah bertemu den­gan pihak Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Badan Pertanahan Nasional (BPN). Tapi tidak ada yang bisa menunjukkan bukti dokumen, telah terjadi jual beli di wilayah tersebut. Mereka tidak mampu membuktikan, mis­alnya kwitansi, nomornya berapa, dan lain sebagainya.

Memangnya sejak ka­pan lahan tersebut dikuasai Freeport?
Sejak penandatanganan Kontrak Karya dengan pemerintah, pada 7 April 1967.

Berapa luas lahan milik suku Amungme?
Saya tidak tahu persis berapa luasnya. Lahan yang dikuasai itu adalah pergunungan, total ada 17 gunung yang dikua­sai. Gunungnya besar-kecil dan ada dalam satu kawasan. Pertambangannya menerobos ke dalam gunung gunung itu.

Lantas setelah lahannya dikuasai Freeport, suku Amungme saat ini mendiami wilayah mana?
PT Freeport bikinkan rumah. Tapi mereka digeser ke ping­girannya. Karena wilayah itu kan terisolasi. Tapi sebagian itu diungsikan ke lahan kosong yang jaraknya kira - kira dari Jakarta ke Yogyakarta. Jaraknya itu kalau ditempuh naik pesawat sampai 1,5 jam.

Pernah ada ganti rugi eng­gak, ketika hunian mereka dibongkar?
Enggak ada. Adanya ya itu saja, mereka dipindahkan ke pinggiran, dan sebagian diungsikan ke tempat lain. Pasca peram­pasan lahan itu, orang Amungme itu jadi warga yang paling mis­kin. Sarjana aja mungkin cuma ada 1 - 2 orang. Itu pun baru ada setelah 1996. Saat itu kan ada protes besar - besaran. Setelah itu Freeport mulai ngasih per­hatian dengan dana 1 persen untuk CSR itu. Tapi pemberian itu kan cuma hal kecil. Ada hak milik mereka yang sudah diram­pas, dan perlu diperjuangkan untuk mendapat penggantian yang layak. Makanya, saat ada masalah kontrak selanjutnya ini kami memunculkan isu ini, biar dalam kerja sama selanjutnya hak warga jangan dilupakan. Baik dalam Kontrak Karya mau pun Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), harus ada klausul soal saham dan ganti rugi dan saham buat mereka.

Suku Amungme menuntut berapa banyak saham dan ganti rugi?

Soal besaran sahamnya, si­lakan pemerintah dan Freeport yang tentukan. Yang penting cukup layak saja. Soal ganti rugi, besaran pastinya saya tidak tahu. Silakan pihak terkait menghitung biaya penggunaan lahan, sejak tahun 1968 sampai sekarang. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA