Persoalan teknisnya bisa dibayangkan prosÂes standarisasi untuk sejuta muballig yang akan berkhutbah di sejuta masjid. Penelitian sejumÂlah lembaga keumatan menunjuk angka sekiÂtar sejuta jumlah masjid, mushalla, langgar, dan surau di seluruh Indonesia. Jumlah ini semakin pesat pertumbuhannya seiring dengan bertamÂbahnya populasi umat dan meningkatnya kesÂejahteraan dan pertumbuhan ekonomi umat. Tentu tidak gampang melakukan sertifikasi muballig karena muballignya saja belum tentu sampai sejuta yang bisa mengikuti standariÂsasi. Bahkan masih banyak masjid dan mushÂalla tidak bisa menyelenggarakan taklim bahÂkan shalat Jum’at karena tidak ada lagi yang berani atau mau menjadi khatib. Mungkin mubÂallig masih bisa tetapi khatib yang menuntut persyaratan tertentu sudah semakin langka. Di perkotaan pun mencari khatib amat sulit apalaÂgi di sebuah pulau atau desa terpencil.
Secara teknis, pelaksanaan sertifikasi juga tidak gampang. Sertifikasi guru dan dosen yang dianggarkan negara sangat mahal dan pelakÂsananya juga adalah negara tetapi sampai sekarang belum tuntas. Belum lagi kriteria nilai yang akan diukur dalan standarisasi tersebut bukan pekerjaan ringan karena mazhab dan aliran Islam di Inonesia jumlahnya sangat beÂsar. Ormas-ormas Islamnya saja lebih dari 70 ormas, dari ormas kecil sampai besar seperti NU dan Muhammadiyah. Hal ini memerlukan ketelitian karena persoalannya sangat sensitif. Belum lagi memperhatikan tingkat komunitas masyarakat yang sangat beragam di Indonesia. Mulai dari masyarakat suku terasing yang peÂmahaman agamanya sangat minim sampai keÂpada masyarakat perkotaan yang pemahaman keagamaannya, umumnya, mamadai.
Persoalan substansinya tentu memerluÂkan kajian lebih mendalam, sebab selain harÂus mencakup pengenalan ajaran Islam seÂcara komperhensif juga perlu mengakomodir nilai-nilai lokal dan nilai-nilai khas kebangsaan NKRI. Perumusan substansi atau ontology dakÂwah yang akan distandarisasi sama sulitnya merumuskan kurikulum nasional. Kurikulum selain harus memperhatiakan substansi materi ajar juga harus memberi ruang untuk nilai-nilai lokal juga harus mengakomodir nilai-nilai luhur kebangsaan yang menjadi unsur distinktif ontolÂogy dan epistimologi keilmuan yang berkeindoÂnesiaan. Substansi dakwah yang akan diukur tentu harus mengakomodir kondisi obyektif keÂberagaman nilai-nilai local umat Islam di seluÂruh wilayah NKRI.
Persoalan legal formal juga akan menjadi masalah tersendiri. Siapa yang akan melaksanÂakan standarisasi, apakah pemerintah, ormas-ormas Islam, MUI, user atau pengguna jasa seperti pengurus masjid, atau gabungan denÂgan para pihak. Jika sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat atau ormas-ormas Islam yang sudaha ada, maka kepentingan pemerÂintah yang tentu berusaha menciptakan staÂbilitas dan keamanan negara sulit dicapai. OrÂmas-ormas Islam yang berhaluan keras tentu akan melegalkan kriteria yang sesuai dengan keyakinan dan ideology mereka. Jika demikian adanya bisa berati legalisasi ideologi yang berÂmasalah. Misalnya saja ormas Islam yang menÂdukung konsep khilafah tentu akan menolerir kriterianya sendiri sebagai bagian dari standar yang harus dipenuhi calon muballignya. Jika pemerintah menetapkan kriterianya, maka apa bedanya dengan sertifikasi muballig?