WAWANCARA

Laksamana Muda Willem Rampangilei: Jakarta Rawan Bencana Banjir, Perlu Lakukan Mitigasi Struktural Dan Lengkapi Pompa Air

Kamis, 23 Februari 2017, 10:34 WIB
Laksamana Muda Willem Rampangilei: Jakarta Rawan Bencana Banjir, Perlu Lakukan Mitigasi Struktural Dan Lengkapi Pompa Air
Laksamana Muda Willem Rampangilei/Net
rmol news logo Jenderal bintang dua TNI AL ini tidak heran jika pada Se­lasa (21/2) lalu beberapa wilayah Jakarta terendam ban­jir. Sebab, berdasarkan hasil pemetaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hampir semua wilayah di Jakarta berwarna merah, tidak ada warna hijau.

Hujan deras yang mengguyur wilayah Jabodetabek pada Selasa (21/2) dinihari itu menyebabkan sejumlah wilayah terendam ban­jir. Setidaknya, ada 54 wilayah di Ibu Kota yang terendam ban­jir dengan ketinggian bervariasi, 10-150 sentimeter. Rinciannya, di Jakarta Selatan terdapat 11 ti­tik, di Jakarta Timur ada 29 titik, dan di Jakarta Utara terdapat 14 titik. Berikut penjelasan Kepala BNPB, Willem Rampangilei.

Berdasarkan hasil pemetaan BNPB Jakarta masuk zona merah banjir. Apa maksud­nya itu?
Itu artinya, Jakarta menjadi salah satu daerah yang rawan terhadap bencana banjir.

Kenapa bisa begitu?
Ada setidaknya tiga faktor yang menjadi penyebab bencana hidrometrologi itu terjadi. Banjir itu pertama disebabkan kondisi alam, yakni meliputi geografi, topografi, dan geometri daerah aliran sungai (DAS).

Memang sekarang bagaima­na kondisi alamnya?
Sebelum tahun 2014, daerah aliran sungai DAS di Jakarta mampu menyerap 45 persen air sehingga air yang mengalir di sungai hanya 65 persen. Tapi, saat ini DAS hanya mampu menyerap 15 persen air. Artinya, begitu hujan terjadi, maka 85 persen air langsung masuk ke dataran rendah. Selebihnya masuk ke dalam tanah dan men­guap. Itu Jakarta.

Faktor berikutnya apa?

Kedua, karena faktor cuaca, yaitu curah hujan, termasuk pasang surut air laut, dan menu­runnya permukaan tanah seka­ligus pendangkalan-pendangka­lan. Saat ini terjadi perubahan siklus cuaca secara drastis juga mempengaruhi pola penanganan banjir. Hal ini dikarenakan vol­ume hujan tetap sama, tapi rentang waktu musim hujan jadi lebih sempit.

Maksudnya?
Pola curah hujan sebelum terkena pengaruh iklim itu enam bulan hujan dan enam bulan kemarau. Sekarang jadi 4 bulan hujan dan 8 bulan kemarau. Nah walaupun 4 bulan hujan tapi volume hujannya sama dengan 6 bulan. Makanya jadi hujan yang ekstrem dan banjir di mana-mana.

Kenapa bisa begitu?
Ini pengaruh dari fenomena El Nino 2015, dan La Nina 2016. Untuk tahun ini, siklus hujan empat bulan itu pun terhitung dari Desember 2016, hingga akhir Maret 2017 nanti. April diharapkan sudah menurun, kar­ena masuk masa peralihan.

Faktor terakhirnya apa?
Ketiga, faktor aktivitas manu­sia itu sendiri. Saya melihat juga drainase banyak yang kondisin­ya sudah parah. Kemudian ban­yak sampah, sehingga daerah resapan air semakin berkurang. Ini menyebabkan banjir di selu­ruh Indonesia.

Bagaimana cara mengatasi masalah tersebut?
Jakarta harus melakukan mitigasi struktural, seperti yang sudah dilakukan seka­rang, menormalisasi sungai, lalu membangun DAS, membuat bendungan. Sama melengkapi dengan pompa-pompa jadi seperti itu. Itu yang harus di­lakukan.

Kalau enggak pakai cara itu, ada alternatif solusi lain­nya?
Tidak, menurut saya untuk Jakarta solusinya utamanya adalah dengan memanfaatkan teknologi, dan melakukan miti­gasi struktural. Kalau saya lihat kita harus belajar dari Belanda. Belanda itu kan negeri di bawah permukaan air laut.

Kenapa tidak ada cara lain?
Kita lihat faktanya saja deh. Sekarang normalisasi sun­gai kita lihat kan sudah bagus, biopori udah dipasang, pember­sihan drainase udah lihat sendiri. Kalau enggak ada itu semua, dampaknya akan lebih buruk dari pada yang kita rasakan saat ini. Menurut saya ini sudah cu­kup baik. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA