Mempersiapkan Khaira Ummah (8)

Plus-Minus Standarisasi Muballig (1)

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Kamis, 23 Februari 2017, 10:22 WIB
Plus-Minus Standarisasi Muballig (1)
Nasaruddin Umar/Net
DALAM artikel terdahulu dibedakan antara sertifika­si dan standarisasi mub­allig. Agak sulit dan bisa dipastikan sertifikasi mem­punyai banyak resistensi di masyarakat. Yang lebih me­mungkinkan ialah standa­risasi muballig, yaitu para muballig yang akan berkhut­bah diminta untuk memiliki kapasitas tertentu yang kriterianya ditentukan oleh lembaga pro­fesional. Diharapkan dengan kepatuhan terh­adap standar, maka para muballig bisa mem­berikan sesuatu yang lebih positif dan lebih konstruktif kepada masyarakat. Dengan de­mikian profesionalisme muballig akan mengacu kepada standar nilai tertentu, sebagaimana halnya kelompok-kelompok profesional lainnya. Ide dasar ini sekaligus akan mengeliminir pe­nyajian materi dakwah yang menyesatkan atau merongrong sendi-sendi kedaulatan bangsa dan negara. Standarisasi dalam arti ini sesung­guhnya tidak berbeda jauh pengertiannya den­gan sertifikasi dalam arti memberikan sertifikat yang berfungsi semacam license atau surat izin untuk menjadi khatib. Mungkin yang berbeda, sertifikasi terkesan intervensi negara terlalu jauh, sedangkan standarisasi terkesan lebih profesional.

Kita tidak berbicara tentang standarisasi mub­allig karena secara teknis dan secara logik su­lit duwujudkan. Nilai plus standarisasi muballig memungkinkan para muballig untuk selalu men­gasa diri dan mengikuti perkembangan zaman karena banyaknya saingan untuk menjadi se­orang muballig yang berstandar. Muballig yang di bawah standar tentu akan terancam kehilan­gan pasar. Di samping itu yang akan beruntung ialah masyarakat dan pemerintah. Masyarakat atau ummat akan selalu memperoleh sesuatu yang baru dan mencerahkan, bukan lagi seperti mendengarkan kaset yang diputar dari masjid ke masjid. Efek postifnya lebih jauh akan ter­cipta umat ideal (khaira ummah), tidak reaktif tetapi proaktif, tidak emosional tetapi sudah leb­ih cerdas, dan lahir sebuah ummat yang optimis dan berpikiran konstruktif dalam atap masa de­pan. Diharapkan dengan demikian, umat tidak lagi menempuh jalan "potong kompas" dalam meraih tujuan seperti dilakukan oleh kalangan teroris.

Ada tesis, semakin dangkal pemahaman umat terhadap ajaran agamanya semakin be­sar peluang untuk dimanfaatkan orang lain yang mempunyai kepentingan tertentu. Umum­nya para martir, pengebom bunuh diri berasal dari orang-orang yang tingkat pengalaman dan penghayatan keagamaannya belum mamadai. Orang-orang nekat dalam beragama yang su­lit diatur juga berasal dari mereka. Sebaliknya orang-orang cerdas dan pemahaman keaga­mannya dalam dan komperhensif, sulit diper­alat oleh sebuah kepentingan non-religious. Mereka sudah kritis dan mampu memahami hakekat dan maqashid al-syari’ah.

Pemerintah pun dengan sendirinya terbantu karena dengan umat yang cerdas, tentu leb­ih mudah mengatur dan memenej ketimbang umat yang masih di bawah standar. Pemerin­tah bisa meraih partisipasi aktif dari umat se­jauh program pemerintah mengacu kepada visi dan misi yang ditetapkan oleh peraturan dan perundang-undangan. Penetapan pera­turan dan perundang-undangan diambil mela­lui proses rasional yakni persepakatan antara pemerintah dan DPR yang merpakan lembaga perwakilan masyarakat. Keputusan legislatif dan eksekutif yang ditegakkan oleh lembaga yudikatif itulah standar normal dan formal un­tuk sebuah masyarakat ideal (khaira ummah). Pemerintah tentu sangat berkepentingan den­gan terwujudnya masyarakat yang cerdas dan kreatif, karena itu pemerintah sebaiknya berin­vestasi untuk melahirkan umat dan masyarakt ideal (khaira ummah). 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA