Sedangkan ide dasar sertifikasi muballig, seperti halnya dilakukan di sejumlah negara tetangga, seperti Malaysia dan Brunei DarusÂsalam, serta sejumlah negara muslim dunia lainnya, ialah memberikan sertifikat yang berÂfungsi semacam license atau surat izin untuk menjadi khatib. Orang-orang yang tidak memiÂliki license tentu tidak dibenarkan untuk naik di mimbar menyampaikan khutbah Jum’at. Di sejumlah negara para muballig bukan hanya harus memiliki license tetapi naskah khutbah sudah harus dimasukkan ke dewan pensyarah untuk diteliti kelayakannya dan muballig harus membaca naskah saat menyampaikan khutÂbah. Bahkan ada negara menetapkan khutÂbah seragam kepada seluruh masjid, sehingga para khatib tidak perlu repot menyiapkan materi khutbah.
Baik standarisasi maupun sertifikasi sama-sama memberikan pembatasn terhadap kegÂiatan dakwah. Bagi orang yang belum memiliki "Kartu Standar" untuk berdakwah tentu kesuliÂtan untuk mengakses masjid, apalagi kalau regÂulasi pemerintah menetapkan standar khusus yang bisa khatib pada setiap masjid. SedangÂkan sertifikasi muballig lebih ketat lagi karena dimungkinkan ada unsur screening ideologi bagi para calon khatib. Bagi pemerintah tentu sertifikasi muballig lebih aman karena bukan hanya mengontrol orang yang akan memberi khutbah tetapi juga sekaligus materi khutbahÂnya. Dengan demikian, agak sulit lagi kita menÂemukan materi khutbah yang merongrong atau mengkritisi pemerintah, atau menyerang peÂmerintahan dari atas mimbar.
Selain protes sebagian orang terhadap gaÂgasan standarisasi atau sertifikasi muballig, juga akan muncul kesulitan di dalam peneraÂpannya, karena seperti kata Pak Jusuf Kalla selaku Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) terlalu banyak masjid di Indonesia, sudah lebih kurang satu juta masjid. Bagaimana cara meÂnyeleksi calon khatibnya. Mencari calon khatÂib setiap masjid saja sulit apalagi melakukan seleksi. Dalam masyarakat kita banyak maÂzhab dan aliran dalam Islam yang berkembang di dalam masyarakat. Apakah harus ada maÂzhab dan aliran negara? Kalau akan diserahÂkan ke Ormas-ormas Islam, ormas yang mana? Ada lebih 70 Ormas Islam, termasuk NU, MuÂhammadia, Persis, dll. Jika diambil alih oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama, apakah tidak menimbulkan kesan etatisme keaÂgamaan, yakni negara terlalu campur tangan terhadap urusan keagamaan warganya, sehÂingga ada kesan tumpang tindih antara tugas ormas dan pemerintah.
Pada dasarnya kedua ide itu bagus hanya perlu dirumuskan bersama mengenai ketentuÂan yang berkenaan dengan kriteria dan teknis pengelolaan lembaga standarisasi atau sertiÂfikasi tersebut. Jangan sampai ide ini menjadi kontra produktif dengan pembinaan umat itu sendiri.