Mempersiapkan Khaira Ummah (7)

Sertifikasi Muballig (2)

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Selasa, 21 Februari 2017, 08:28 WIB
Sertifikasi Muballig (2)
Nasaruddin Umar/Net
IDE dasar untuk melaku­kan standarisasi muballig sebagaimana diwacanakan Kementerian Agama akhir-akhir ini dimaksudkan untuk memacu para muballig un­tuk mengacu pada standar yang konon katanya akan diserahkan kepada ornas-ormas Islam atau Majelis Ulama Indonesia (MUI). Para muballig yang akan berkhutbah diminta menyerasikan ma­terinya dengan standar yang akan disepakati. Diharapan dengan kepatuhan terhadap stan­dar, para muballig bisa memberikan sesuatu yang lebih positif dan lebih konstruktif kepada masyarakat. Dengan demikian profesional­isme muballig akan mengacu kepada standar nilai tertentu, sebagaimana halnya kelompok-kelompok profesional lainnya. Ide dasar ini sekaligus akan mengeliminir penyajian materi dakwah yang menyesatkan atau merongrong sendi-sendi kedaulatan bangsa dan negara.

Sedangkan ide dasar sertifikasi muballig, seperti halnya dilakukan di sejumlah negara tetangga, seperti Malaysia dan Brunei Darus­salam, serta sejumlah negara muslim dunia lainnya, ialah memberikan sertifikat yang ber­fungsi semacam license atau surat izin untuk menjadi khatib. Orang-orang yang tidak memi­liki license tentu tidak dibenarkan untuk naik di mimbar menyampaikan khutbah Jum’at. Di sejumlah negara para muballig bukan hanya harus memiliki license tetapi naskah khutbah sudah harus dimasukkan ke dewan pensyarah untuk diteliti kelayakannya dan muballig harus membaca naskah saat menyampaikan khut­bah. Bahkan ada negara menetapkan khut­bah seragam kepada seluruh masjid, sehingga para khatib tidak perlu repot menyiapkan materi khutbah.

Baik standarisasi maupun sertifikasi sama-sama memberikan pembatasn terhadap keg­iatan dakwah. Bagi orang yang belum memiliki "Kartu Standar" untuk berdakwah tentu kesuli­tan untuk mengakses masjid, apalagi kalau reg­ulasi pemerintah menetapkan standar khusus yang bisa khatib pada setiap masjid. Sedang­kan sertifikasi muballig lebih ketat lagi karena dimungkinkan ada unsur screening ideologi bagi para calon khatib. Bagi pemerintah tentu sertifikasi muballig lebih aman karena bukan hanya mengontrol orang yang akan memberi khutbah tetapi juga sekaligus materi khutbah­nya. Dengan demikian, agak sulit lagi kita men­emukan materi khutbah yang merongrong atau mengkritisi pemerintah, atau menyerang pe­merintahan dari atas mimbar.

Selain protes sebagian orang terhadap ga­gasan standarisasi atau sertifikasi muballig, juga akan muncul kesulitan di dalam penera­pannya, karena seperti kata Pak Jusuf Kalla selaku Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) terlalu banyak masjid di Indonesia, sudah lebih kurang satu juta masjid. Bagaimana cara me­nyeleksi calon khatibnya. Mencari calon khat­ib setiap masjid saja sulit apalagi melakukan seleksi. Dalam masyarakat kita banyak ma­zhab dan aliran dalam Islam yang berkembang di dalam masyarakat. Apakah harus ada ma­zhab dan aliran negara? Kalau akan diserah­kan ke Ormas-ormas Islam, ormas yang mana? Ada lebih 70 Ormas Islam, termasuk NU, Mu­hammadia, Persis, dll. Jika diambil alih oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama, apakah tidak menimbulkan kesan etatisme kea­gamaan, yakni negara terlalu campur tangan terhadap urusan keagamaan warganya, seh­ingga ada kesan tumpang tindih antara tugas ormas dan pemerintah.

Pada dasarnya kedua ide itu bagus hanya perlu dirumuskan bersama mengenai ketentu­an yang berkenaan dengan kriteria dan teknis pengelolaan lembaga standarisasi atau serti­fikasi tersebut. Jangan sampai ide ini menjadi kontra produktif dengan pembinaan umat itu sendiri. 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA