WAWANCARA

Betty Epsilon Idroos: Kami Butuh Riset Kenapa 25 Persen Dari DPT Tidak Gunakan Hak Pilihnya

Minggu, 19 Februari 2017, 10:00 WIB
Betty Epsilon Idroos: Kami Butuh Riset Kenapa 25 Persen Dari DPT Tidak Gunakan Hak Pilihnya
Betty Epsilon Idroos/Net
rmol news logo Perempuan kelahiran Medan ini senang bukan kepalang be­gitu mengetahui kabar tingkat partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak suaranya di Pilkada DKI Jakarta meningkat, jika dibandingkan Pilkada DKI tahun 2012. Kendati sukses mendongkrak angka partisipatif, ternyata masyarakat Jakarta yang tidak menggunakan hak pi­lih alias golput di Jakarta masih cukup tinggi. Yakni nyaris 26 persen dari total Daftar Pemilih Tetap. Terkait hal tersebut, beri­kut penuturan Betty kepada Rakyat Merdeka;

Secara umum bagaimana gambaran pencapaian Pilkada DKI Jakarta?
Secara umum, alhamdulillah bisa berjalan lancar dan aman.

Sejauh ini apa saja laporan atau aduan yang masuk ke KPUD terkait pelaksanaan Pilgub DKI Jakarta?
Ada banyak laporan masuk ke WA (WhatsApp), masuk ke media sosial menyampaikan beberapa temuan, dan kami lang­sung menindaklanjutinya pada malam hari tanggal 15 Februari 2017. Kami sedang menyiapkan data dan informasi versi KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara tingkat kelu­rahan) dan versi PPS (Panita Pemungutan Suara tingkat TPS) yang menjadi bahan rekapitulasi berjenjang nantinya atau ketika menjawab pertanyaan dari me­dia di lapangan.

Apa saja laporannya yang masuk?
Jadi adanya dugaan tidak dapat menggunakan hak pilih sebagai DPTb. Kami langsung tanya TPS berapa? Lalu lang­sung kami konfirmasi ke PPS kabupaten/kota untuk terus di­tanyakan kepada teman-teman KPPS di lapangan.

Dugaan yang diduga itu pun mendapat jawaban, bahwa para pemilih itu datang di atas jam 1 siang atau membludaknya warga yang tidak terdaftar di DPTse­mentara jumlah suara terbatas hanya sesuai jumlah DPTditam­bah 2,5 persennya. Lalu mereka baru terlayani dari jam 12 siang sampai jam 1 siang. Jika mereka sudah masuk antrian, tentu mereka akan kami layani.

Selain itu?
Ada juga ketika saya di Kalibata City, ada warga yang mencoba menggunakan hak pilih DPTb tapi tidak sesuai alamatnya, terus maksa untuk dapat masuk ke dalam TPS. Itulah temuan-temuan kami yang dievaluasi untuk mendapatkan jawabannya. Bahwa ada juga yang menjadi catatan kami dan teman-teman KPPS, akan kami tindaklanjuti, kalau-kalau nanti ada putaran kedua.

Bagaimana dengan waktu yang terbatas bagi pemilih tambahan?
Kalau pengguna DPTb, me­mang ketentuannya dari jam 12 siang sampai jam 1 siang. Kami menggarisbawahi, pengguna DPTb itu harus sama dengan data yang terdaftar sebagai DPTb.

Jadi ini putusan Mahkamah Konstitusi. Artinya, KPPS itu harus bisa membuktikan bahwa mereka yang ingin menjadi pemi­lih tambahan itu harus terdapat ketersedian surat suaranya.

Dari hasil pemantauan itu nantinya akan digunakan sebagai apa?

Untuk putaran kedua jika ada, ini menjadi PR kita semua, tidak hanya KPU. Tapi kepada pemi­lih, partai politik dalam hal ini pengusung pasangan calon, dan Bawaslu DKI.

Jadi rangkaian pemilu itu tidak hanya ketika pencoblosan, tidak hanya saat pemungutan dan penghitungan di hari H, namun rangkaian itu hingga pe­mutakhiran data pemilih. Ketika kami mengeluarkan data pemilih sementara sebelum ditetapkan sebagai DPT, itu kan datanya ter­buka sekali by name by address. Itu juga disampaikan kepada paslon dan kepada Bawaslu DKI Jakarta untuk dicermati.

Siapa tahu ada pemilih yang memenuhi syarat tapi tidak masuk dalam daftar pemilih sementara. Mungkin ada pemi­lih yang terdaftar pada daftar pemilih sementara padahal sebe­narnya tidak memenuhi syarat, misalnya meninggal dunia, pindah, atau tidak dikenali.

Karena saat DPT ditetap­kan, tidak peluang data pemi­lih diumumkan kepada publik. Bagi yang tidak terdaftar bukan berarti tidak menggunakan hak pilih, selagi bisa menunjukkan e-KTP atau suketnya disertai dengan Kartu Keluarga aslinya.

Berdasarkan data website KPU resmi pada Jumat (17/2) malam, ada sekitar 25 persen yang tidak memilih, apa pe­nyebabnya?

Pemilih tidak menggunakan hak pilih, kita belum riset. Katakanlah saat ini 77-78 persen, kenapa alasannya masyarakat tidak datang, karena sesung­guhnya jika dibandingkan den­gan Pilkada DKI tahun 2012, angka partisipasi ini sangat tinggi dan pengguna DPTb-nya membludak sekali. Pada tahun 2012 itu sekitar 64 persen pada putaran pertama kemudian saat putaran kedua hapir 67 persen. Ini kerja semua pihak tidak hanya KPU.

Ini ikhtiar KPU DKI, per Jumat malam 99,9 persen, 13.022 TPS dari 13.023 TPS. Jadi ada satu TPS yang belum terentry. Tingkat partisipasinya pemilihnya 74,1 persen dan 25,9 persen tidak memilih. Tentu ini menjadi catatan kami, karena ini pengguna pemilih disabilitas berjumlah 99,9 persen. Jadi kami merasa ini sangat fantastis ang­kanya untuk DKI Jakarta.

Mereka yang tidak memilih apa lantaran jumlah surat suaranya kurang?
Kami menyiapkan surat suara sesuai jumlah DPTlalu ditam­bah 2,5 persen per TPS.

Terus kenapa masih banyak yang kurang?
Saya rasa mungkin saja ada pemilih yang sakit, pergi keluar, tidak ada di tempat. Saya menda­patkan kabar di Jakarta Selatan ada surat suara yang tersedia tidak sesuai jumlah DPT-nya.

Itu langsung ditindaklanjuti oleh petugas kami untuk dileng­kapi. Jadi tidak alasan pemilih tidak dapat menggunakan hak pilihnya.

Tingkat partisipasi juga men­jadi catatan bagi kami, kami butuh riset kenapa 25 persen tidak menggunak hak suara.

Di media sosial banyak bere­dar form C1 dan rekapan hasil yang tidak sama, itu data yang benar atau hanya hoax?
Itu bukan data kami. Kalau masalah rekapan, kami baru mulai merekap itu tanggal 16 Februari, sedangkan foto-foto di medsos sudah muncul sejak 15 Februari. Kalau ada rekapan seperti itu, rekapan KPUDKI tidak seperti itu.

Di tanggal itu kami juga baru merekap tinggal PPK, tidak ada tingkat kelurahan, itu diting­kat kecamatan. Dimulai tang­gal berapa, dari tanggal 16-22 Februari Terus kalau ada rekapan, bentuk form KPU DKI yang kami sesuaikan dengan peraturan KPU tidak begitu juga bentuknya. Jadi ada form DA, form DAA, itu ada bentuknya dan bentuknya tidak seperti itu seperti yang tersebar.

Data kami masih akan direka­pitulasi ditingkat PPK. Siapa yang menghadiri. Karena saat rekap di tingkat PPK, kami menghadirkan sanksi dari tiga pasangan calon, kami men­gadirkan Pengawas Kecamatan. Dimana mereka semua mendap­atkan salinan C1.

Ketika kejadian pemungutan dan penghitungan suara TPS itu harus dikonfirmasi. Nah itulah kenapa rekapan yang resmi itu harus melalui rekap berjenjang, karena disitu ada proses diskusi dan proses berjenjang antara peserta, saksi dan penyeleng­gara. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA