Salah seorang sahabat yang menyaksikan peristiwa ini melaporkan kepada Nabi bahwa Usama, sang Panglima Angkatan Perang, memÂbunuh orang yang sudah bersyahadat. MenangÂgapi laporan itu Nabi marah sekali hingga terlihat urat di dahinya melintang. Usamah dipanggil Nabi lalu ditanya kenapa membunuh orang yang sudah bersyahadat? Usamah menjawab hanya sebagai taktik, ia membawa senjata dan sewaktu-waktu bisa mencelakakan pasukan. Ia dibunuh karena diduga syahadatnya palsu. Mendengarkan seÂcara saksama alasan Usamah membunuh musuh yang sudah bersyahadat, maka Nabi mengeluarÂkan pendapat: Nahnu nahkum bi al-dhawahir, wa Allah yatawalla al-sarair (Kita hanya menghukum apa yang tampak, dan Allah Swt yang menghuÂkum apa yang tersimpan di hati orang).
Jawaban Nabi ini menunjukkan betapa tidak bolehnya memvonnis keyakinan dan kepercayaan orang lain. Jika orang secara formal mempersakÂsikan syahadatnya secara terbuka, maka kita tidak boleh lagi mengusiknya. Soal ada pelanggaran lain, nanti saja proses hukum formal yang akan menyeÂlesaikannya. Usamah pun saat itu memohon ampun kepada Rasullullah akan peristiwa itu dan Usama berjanji akan hati-hati jika menemui peristiwa yang sama terjadi di kemudian hari. Jika orang lain diekÂsekusi maka sesungguhnya yang turut korban ialah family terdekat orang itu. Bahkan keluarga yang berÂsangkutan bisa mengurung diri berbulan-bulan lanÂtaran tidak tahan menanggung rasa malu.
Semua orang harus hati-hati agar jangan beÂgitu gampang memvonis seseorang sebagai kafir, musyrik, ahlul bid'ah, karena boleh saja vonis itu memantul kepada diri si penuduh. Rasulullah Saw pernah bersabda; barangsiapa yang menuduh orang lain kafir padahal tidak sesuai dengan keÂnyataan di mata Allah Swt, maka yang bersangÂkutan akan menerima akibatnya yang setimpal. Jarang ditemukan dalam hadis apalagi dalam Al-Qur’an yang mengisyaratkan bolehnya melakuÂkan penyerangan kepada suatu kelompok dengan menebarkan isu pengkafiran (takfiri). Justru di sitÂulah tantangan da'wah bagaimana membetulkan akidah orang-orang yang dinilai bermasalah. BuÂkannya mereka diusir atau dijauhi dengan menÂgangkat isu takfiri. Yang banyak ditemukan ialah ajakan untuk mengintensifkan dakwah terhadap orang-orang yang dianggap mempunyai masalah dari segi akidah.
Masyarakat Indonesia termasuk masyarakat yang heterogen, baik dari segi akidah maupun etÂnik. Jangan sampai hanya karena perbedaan maÂzhab yang dianut lantas kita melayangkan vonis kafir kepada orang lain. Akibatnya pasti tidak sederÂhana. Bukan hanya menyangkut orang perorangan tetapi boleh jadi melibatkan institusi dan organisasi. Keberhasilan Walisongo dalam mengislamkan bumi Nusantara karena ketekunan dan kesabarannya mendekati kelompok-kelompok bermasalah dari segi akidah. Walisongo menolerir praktek-praktek kejawen untuk sementara waktu, akan tetapi pada waktu bersamaan mereka mengintensifkan dakÂwah Islam kepada mereka. Walisongo menempuh strategi bahwa islamisasi itu harus dianggap sebaÂgai on-going process, sesuatu yang harus dilakukan secara berkelanjutan. Konsep takfiri bukan hanya tidak sejalan dengan metode dakwah yang pernah dilakukan penganjur Islam terdahulu tetapi berpoÂtensi memecah belah bangsa.