Negara yang dipadati oleh berbagai suku, bangÂsa, agama, dan kepercayaan seperti Indonesia, konflik antara agama dan etnik sewaktu-waktu bisa terjadi. Perjalanan sejarah bangsa Indonesia memÂbuktikan hal ini. Indonesia sudah kenyang dengan konflik agama dan etnik, namun konflik tersebut seÂlalu bisa diatasi dengan cepat karena adanya perÂsamaan sejarah panjang sebagai warga bangsa. Sama-sama menjalani kehidupan senasib dan sepÂenderitaan, mengalami pengalaman pahit hidup di bawah penjajahan konlonial Belanda, sama-sama mengalami berbagai dampak buruk bencana alam, dan berbagai cobaan dalam kehidupan berbangsa dan dan negara lainnya, baik berupa bencana lokal maupun nasional.
Kehadiran UU yang secara khusus mengatur kerukunan antar umat beragama dan berkeperÂcayaan di negara ini sangat diperlukan. SebeÂnarnya sudah ada UU No. 1 tahun 1965 tentang penistaan agama tetapi terlalu ringkas, hanya 3 ayat, untuk menyelesaikan kompleksitas konflik keagamaan di negeri ini. Sudah waktunya yang tepat UU itu hadir sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan bersama yaitu konflik terbuka antara umat beragama. Kita semua tahu bahwa konflik keagamaan jauh lebih bahsyat akibatnya ketimbang konflik primordial seperti suku, bangÂsa, dan kedaerahan. Jika konflik agama terjadi maka berlaku motto: 'Isy kariman au mut syahiÂdan (Hidup mulia atau mati syahid).
Mungkin memang UU ini agak kontroversi, suÂdah barang tentu ada kelompok masyarakat yang setuju dan ada yang tidak setuju dengan alasanÂnya masih-masing. Namun demikian jika dilihat dari berbagai sudut pandang, maka kehadiran UU ini lebih menjanjikan harapan lebih baik. Apalagi saat ini muncul tren peningkatan gerakan kelompok radikal keagamaan secara universal. Kelompok tersebut tidak segan menjalankan misinya dengan menghalalkan segala cara. Untuk mencegah segaÂla dampak buruk gerakan kelompok radikal maka perlu diproteksi dengan melahirkan UU yang bisa berfungsi mencegah dan sekaligus menimbulkan efek jera bagi para pelakunya.
Sesungguhnya yang paling membutuhkan UU Kerukunan ialah kelompok minoritas. Kelompok mayoritas tidak terlalu membutuhkan kehadiran UU ini karena mereka mampu mengatasi persoalanÂnya sendiri. Jika terjadi konflik keagamaan sering kali aparat keamanan mengalami kesulitan karena tidak adanya jaminan dan dasar hukum yang lebih kuat untuk melakukan tindakan pencegahan dini. Jika mereka melakukannya khawatir akan terjerat dengan peraturan dan perundang-undangan baru yang berhubungan dengan HAM. UU ini nantinya bisa menjadi payung hukum untuk memayungi sejumlah kebijakan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Diharapkan dengan kelahiran UU ini bisa memberikan rasa aman dan ketenangan bagi setiap warga negaranÂya untuk menjalankan agamanya masing-masing tanpa merasa terancam atau terintimidasi oleh kelÂompok-kelompok tertentu, khususnya dari kelomok agama yang berbeda.
Di samping itu, diharapkan dengan lahirnya UU ini beberapa daerah yang dituding melakukan syarÂiatisasi peraturan daerah bisa segera diselesaikan dengan baik. Selama ini selalu ada tudingan sejumÂlah daerah tertentu dianggap menghukum positifÂkan hukum Syari’ah melalui perda-perda, sehingga kebijakan itu mengusik harmoni kehidupan antar umat beragama. Contohnya perda-perda sejumÂlah daerah yang mengatur berbusana muslimah, keharusan baca tulis Al-Qur'an bagi calon pegawai Pemda, minuman keras, dan calon pengantin laki-laki dan perempuan. Banyak lagi contoh lain dan kemungkinan peristiwa lain bisa terulang kembali jika tidak diproteksi dengan sistem hukum yang lebÂih komperhensif. ***