Merawat Toleransi (67)

Menghindari Survei Prematur

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Jumat, 03 Februari 2017, 08:04 WIB
Menghindari Survei Prematur
Nasaruddin Umar/Net
rmol news logo Dalam tahun 1990-an sebuah hasil survei di AS diputuskan tidak boleh dipublikasikan. Survei itu menyim­pulkan kecerdasan seseorang ber­banding lurus dengan ras. Ras paling cerdas berdasarkan urutan sebagai berikut: 1) Ras kuning seperti orang Cina, jepang, dan Korea. 2) Ras putih seperti orang kulit putih Amerika dan Eropa. 3) Ras coklat seperti orang Arab, India, dan Paki­stan, kemudian. 4) Ras sawo matang seperti orang me­layu, Tailan, Vietnam, dan Pilipina. 5) Ras negroid, kulit hitam.

Pelarangan publikasi itu disebabkan karena kesimpu­lannya bisa memicu ketegangan etnik di AS. Itu artinya orang kulit hitam yang hampir separoh di AS tidak pan­tas menjadi presiden karena berasal dari ras paling tidak cerdas. Kalau saja riset ini dipublikasikan maka Obama belum tentu menjadi presiden AS. Ternyata Obama bisa mengungguli ras-ras cerdas lainnya. Ini berarti nasib baik dan nasib buruk tidak berbanding lurus dengan jenis ras seseorang. Benar kata Tuhan: Inna akramakum 'in­dallahi atqakum (Q.S. al-Hujurat/49:13).

Lembaga-lembaga survey di tanah air kita tumbuh menjamur. Tidak terkecuali survey kualitas akidah dan tingkat keyakinan seseorang terhadap agamanya. Tidak terbayang, apakah obyek yang maha rumit ini bisa di­ukur dengan survei dangkalan. Ironisnya survei yang luar biasa susahnya ini dipublikasikan sebebas-bebas­nya di dalam masyarakat, sehingga kadang hasil-hasil survei seperti ini membuat orang lain jadi shock, stres, atau memicu terjadinya kecemburuan, konflik, dan intol­eransi. Regulasi khusus mengenai survei di negeri kita juga belum ada. Orang seenaknya memublikasikan sur­vey sesuai keinginannya.

Survey yang berpotensi menimbulkan kontroversi dan mungkin bisa berujung konflik ialah survey keagamaan yang prematur. Mungkin tujuannya bagus tetapi metod­ologinya sembrono atau tidak professional bisa memicu konflik. Ada sejumlah survey belum lama ini dipublika­si menuding meningkatnya secara tajam populasi garis keras umat Islam dan semakin meluasnya intoleransi umat Islam di dalam masyarakat. Yang disurvei tidak main-main: Jamaah mesjid, komunitas pondok pesant­ren NU, dan majlis-majlis taklim. Angka-angkanya amat fantastik, sebagaimana bisa diikuti di media internet. Apa betul umat Islam Indonesia sudah lebih radikal dari­pada kelompok taliban di Afganistan? Apa betul kuriku­lum agama kita sudah sedemikian parah sehingga harus dirombak total? Apa betul para muballig dan guru-guru agama kita sudah menjadi penganut Islam garis keras? Apa betul pondok-pondok pesantren dan madrasah yang bertebaran di tanah air itu sudah terkontamina­si aliran keras sehingga perlu di-rebrain washing? Apa betul orang menjadi teroris dan garis keras itu karena Terjemahan Al-Qur’an Kementerian Agama yang rusak? Apa kebobrokan Kementerian Agama sudah sedemikian parah sehingga sudah waktunya untuk dibubarkan? Jan­gan sampai kita tidak sadar menjadi penari latar yang gendangnya ditabu orang lain.

Merupakan hak intelektual setiap orang untuk melaku­kan survei apa saja, namun kewajiban intelektual juga harus diindahkan. Idealnya setiap survei tidak boleh ca­cat metodologis, apalagi jika yang disurvei obyeknya sensitif. Jangan sampai survei yang dilakukan by order dan by design kelompok tertentu, atau hanya untuk men­cari perhatian dan keterkenalan. Kita bisa mencari uang tetapi sebaiknya tidak dengan menjual survei prematur. Kalau obyek survei itu perilaku pasar, konstituen poli­tik, dan obyek-obyek measurable lainnya adalah wajar bahkan menjadi ciri masyarakat modern. Akan tetapi jika yang disurvei persoalan mendasar dan sensitif seperti menyangkut kepercayaan dan harga diri etnik tertentu, sebaiknya para surveior berhitung lebih jauh untuk me­mublikasikan hasil surveinya demi memelihara ketenan­gan umat dan warga bangsa. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA