Bagaimana anda melihat kasus Patrialis Akbar?Tentunya seperti banyak orang kami juga merasa prihatin dan juga kecewa. Penegakan huÂkum yang bertentangan dengan konstitusi itu menjadi buah bibir orang. Kejadian ini menujukan kalau problem integritas itu masih ada. Teori yang menyaÂtakan setiap orang memiliki kecenderungan untuk corrupt itu ternyata benar. Prinsip itu melekat pada semua orang, tidak hanya orang Indonesia.
Apa penyebab terjadinya kasus semacam ini?Sebetulnya banyak faktor. Tapi saya kira penyebab utamanÂya adalah masalah integritas.
Bukan faktor ekonomi?Ada juga faktor ekonominya, tapi saya kira lebih berat ke integritas. Kalau dari sudut kesejahteraan kan sebetulnya sudah memadai. Anggota MK itu bisa memperoleh pendapatan 78-81 juta per bulan, sementara ketuanya bisa mendapat 121 juta per bulan. Belum lagi sebelumÂnya ada Peraturan Pemerintah (PP) yang menetapkan adanya uang sidang bagi hakim MK. Dengan adanya PP tersebut, keÂtika menangani gugatan ratusan pilkada dan pileg, para hakim MK itu bisa mengantongi hingga 700 juta.
Sekarang mereka memÂinta adanya uang sidang lagi, dan katanya sudah disetujui. Ternyata kasusnya terulang. Setelah Akil Mochtar, kejadian lagi Patrialis kemarin. Memang rentang terjadinya kasus lama. Tapi ini artinya masih ada perÂsoalan integritas. Sementara faktor kesejahteraan itu tidak dominan.
Bagaimana untuk menanÂgani persoalan integritas ini?
Untuk menyikapi persoalan integritas ini perlu adanya pengaÂwasan yang lebih baik lagi. Jadi sudah saja, pengawasan hakim-hakim MK dan MA diberikan kepada KY. Karena lembaga yang punya kompetensi untuk melakukan itu ya KY.
Memang pengawasan dari internal MK masih kurang?Jadi begini ya, ketika dulu KY diberi kewenangan untuk mengawasi hakim MK, ternyata kewenangannya direduksi oleh MK sendiri. Ketika ada Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) yang menyaÂtakan KY berwenang untuk mengawasi MK dengan cara membentuk Mahkamah Etik, itu juga diuji materikan dan akhÂirnya dibatalkan. MK maunya punya Dewan Etik sendiri. Tapi ketika dulu audiensi Dewan Etik hanya sebatas melihat kegiatan para hakim, seperti boleh enggak hakim main tenis, boleh enggak main golf.
Menurut saya itu enggak tepat, yang dipersoalkan harusnya bukan itu. Hakim itu boleh saja main golf, main tenis, bahkan jalan-jalan ke eropa. Gajinya 100 jutaan kan cukup buat itu. Harusnya yang dipersoalkan itu kalau ketika bermain dan jalan - jalan dananya bukan berasal dari duit sendiri, melainkan dari pihak yang berpotensi untuk berperkara, apalagi pihak yang sedang berkasus.
Bukankah dulu KY sebetulÂnya punya kewenangan untuk mengawasi MK kan?Iya, di Undang - Undang KY yang lama.
Lalu kenapa kewenangan tersebut dibatalkan?Jadi sekitar tahun 2006 itu, MA mengajukan uji materi terhadap kewenangan KY dalam menÂgawasi para hakim agung. Tapi kemudian MK ngeluarin putuÂsan di luar yang diuji. Intinya, kewenangan pengawasan KY terhadap Hakim MA tetap, seÂmentara yang kepada Hakim MK dibatalkan. Secara hukum harusnya enggak boleh memutus perkara terkait diri sendiri, tapi MK beranggapan boleh.
Memang waktu itu bentuk pengawasannya seperti apa?Pengawasanya begitu mau diÂjalankan, langsung diuji ke MK dan kemudian diputuskan untuk dibatalkan. Ketika kemudian KY diberi kewenangan untuk membentuk Komisi Etik guna mengawasi MK, dianulir juga oleh mereka.
Mereka keberatan diawasi KY, dan pengen nyeleksi sendiri. Dampaknya kan terlihat enggak efektif seperti sekarang. Maka dibutuhkan lembaga lain untuk melakukannya, dalam hal ini adalah KY. ***
BERITA TERKAIT: