Kenapa sih kasus Hakim MK korupsi terjadi lagi, kok bisa?Yang pertama itu, tentunya bobroknya mental hakim karena dia hakim dengan mental korup. Yang kedua karena sistem rekrutÂmen hakim MK itu diduga poros kekuasaan, di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), di Presiden, di MA(Mahkamah Agung), itu memberi potensi kolusi.
Maksudnya?Patrialis ini bisa disebut sebaÂgai contoh. Karena dulu Patrialis ini
track record-nya di penegakan hukum tidak banyak dikenal. Tapi tiba-tiba diangkat oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan cara yang tidak sesuai dengan undang-undang.
Seharusnya?Menurut Pasal 19 Undang-Undang MK istilahnya partisiÂpatif dan transparan. Praktiknya bisa seleksi terbuka. Tetapi Pak SBY mengangkat tanpa proses itu. Penunjukan itu pada tahun 2013. Patrialis itu diangkat dengan Keppres (Keputusan Presiden) Nomor 87 Tahun 2013 tanpa seleksi.
Kok bisa seperti itu?Presiden memang bisa saÂja melakukan itu, tetapi keÂmudian masyarakat memperÂsoalkan. Sehingga digugat ke pengadilan. Lalu oleh PTUN Presiden SBY dinyatakan salah. Keppres Nomor 87 Tahun 2013 itu dibatalkan, artinya sejak awal masuknya Patrialis sudah bermasalah. Namun, saat kalah PTUN, Pak SBY mengajukan banding. Memang banding itu hak dia (SBY), dan menang di tahap banding. Tidak ada reputasi Patrialis di akademisi, dan penegakan hukum, dia kan politisi.
Lantas dengan adanya keÂjadian seperti sekarang ini apakah bekas Presiden SBY juga mesti dimintai tanggung jawab? Kasus OTT (operasi tangkap tangan) oleh KPK terhadap Patrialis Akbar secara hukum tak ada kaitan dengan SBY. Kasus yang menimpa Patrialis sekarang ini murni urusan Patrialis. Meski begitu SBY punya tanggung jawab moral sebab dialah yang setengah memaksakan Patrialis menjadi Hakim MK.
Dialah yang mengangkat Patrialis dan kemudian ngoÂtot mempertahankannya, sehÂingga menimbulkan musibah bagi bangsa ini. Tetapi moral itu adalah soal kesadaran dan tak bisa dipaksakan secara hukum. Tinggal orangnya, punya kepeÂkaan moral atau tidak.
Anda sendiri ketika itu kan tahu bahwa keputusan Presiden SBY menyalahi hukum. Lantas apa yang sudah Anda lakukan untuk mengingatkannya? Saat itu masyarakat melontarÂkan protes dan minta pengangkatan itu dibatalkan karena bertentangan dengan Pasal 19 Undang-Undang MK. Tetapi SBY tetap saja. Bahkan melalui YLBHI dan ICW masyarakat kemudian menggugat Keppres Pengangkatan Patrialis itu ke PTUN (pengadialan Tata Usaha Negara). Dan PTUN mengabulÂkan gugatan dengan menyatakan Keppres itu bertentangan dengan undang-undang dan harus dibatalÂkan. Waktu itu saya juga menulis artikel di sebuah harian agar SBY menggunakan keluarnya vonis PTUN itu sebagai momentum untuk mengoreksi kesalahannya. Saya sarankan agar SBY tak usah naik banding ke PT-TUN (Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara) karena Kepres-nya teÂlah dinilai oleh PTUN sebagai Kepres yang menyalahi undang-undang. Tetapi SBY tak peduli dan tetap naik banding.
Setelah kasus Patrialis ini, lalu menurut Anda bagaimana seharusnya proses rekrutmen Hakim MK itu dilakukan?Saya usul seperti yang lainnya, yaitu dilakukan seleksi terbuka. Untuk ke depan, rekrutmen haÂkim MK sebaiknya dilakukan oleh panitia seleksi (pansel) independen baik yang dari DPR, dari Presiden, dan dari MA.
Bisakah itu dilakukan?Bisa dan sudah pernah dilakuÂkan di lingkungan eksekutif. dulu pada rekrutmen generasi MK kedua, tahun 2008, Presiden SBY membentuk pansel yang dipimpin oleh Adnan Buyung Nasution. Melalui ujian seleksi terbuka di Senayan terpilih tiga orang hakim yang baik yaitu Mukthie Fajar, Maria Farida Indrati, dan Achmad Sodiki. Tapi setelah itu SBY menunjuk sendiri. Tak ada pengumuman rekrutmen dan tak ada yang tahu bagaimana proses perekrutannya. Patrialias adalah produk dari cara rekrutmen yang seperti itu.
Bagaimana dengan perekruÂtan di DPR dan MA?Sebaiknya melalui pansel independen juga. Misalnya DPR membentuk tim seleksi dan tinggal memilih dari hasil yang disaring oleh panitia independen itu. Untuk yang di MA perlu beÂgitu juga, yakni, dilakukan oleh sebuah tim independen. Yang diusulkan oleh MA tak harus hakim saja tapi bisa juga jaksa senior, polisi senior, pengacara, bahkan akademisi. Yang penting diseleksi secara ketat.
Apakah cara itu dibenarkan oleh Konstitusi?Ya, dibenarkan. Sebab UUD kita hanya mengatakan, hakim konstitusi berjumlah sembilan orang yang masing-masing tiga orang diusulkan oleh DPR, Presiden, dan MA.
Jadi seleksinya bisa melalui panitia independen. Apalagi Pasal 19 Undang-Undang MK mewajibkan seleksi hakim harus dilakukan secara partisipatif dan transparan. ***
BERITA TERKAIT: