Merawat Toleransi (63)

Merealisasikan Fikih Kebhinnekaan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Senin, 30 Januari 2017, 08:23 WIB
Merealisasikan Fikih Kebhinnekaan
Nasaruddin Umar/Net
PEMBEBASAN mengenai Fikih Ke­bhinnekaan masih timbul tenggelam. Adakalanya menghangat dan adaka­lanya didiamkan. Indonesia dilihat dari berbagai aspek memang sudah sewa­jarnya memiliki fikihnya sendiri. Um­umnya produk fikih yang diterapkan di Indonesia masih produk Timur Tengah yang kondisi sosio-geografisnya amat berbeda dengan masyarakat Indo­nesia. Beberapa kaedah ushul ushul juga mengisyaratka kemungkinan itu, antara lain: Al-hukm yaduru ma’a illatih wujudan wa 'adaman (Hukum mengikuti illatnya, baik men­gadakan atau meniadakannya). Jika terjadi sesuatu kon­disi di dalam masyarakat menuntut adanya hukum untuk mengaturnya, maka di situ diperlukan adanya hukum. Jika kondisi itu sudah hilang maka hukum yang diadakan untuk mengaturnya juga otomatis hilang.

Subyek dan obyek Fikih Kebhinnekaan ialah masyarakat Indonesia yang plural dan heterogen. Plu­ralitas bisa diartikan sifat dari sekumpulan kelompok nilai atau sub-kultur yang diikat oleh suatu kekuatan nilai leb­ih tinggi yang memungkinkan masing-masing kelompok dan subkultur itu menyatu di dalam suatu wadah keber­samaan. Sedangkan heterogenitas sifat dari sekump­ulan kelompok nilai atau sub-kultur yang berdiri sendiri tanpa diikat oleh satu kesatuan nilai yang lebih tinggi. In­donesia lebih tepat disebut sebagai negara plural daripa­da negara heterogen, karena Indonesia, meskipun terdiri atas berbagai suku, etnik, bahasa, dan agama namun tetap merupakan satu kesatuan budaya dan ideologis sebagaimana tercermin di dalam motto "Bhinneka Tung­gal Ika", bercerai-berai tetapi tetap satu. Segenap war­ga bangsa Indonesia bersepakat utnuk menghimpunkan diri di dalam satu wadah kesatuanh yang disebut dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pluralisme Indonesia difahami sebagai sebuah kon­sep kesatuan yang tersusun dari berbagai unsur keber­agaman. Keberagamannya diikat oleh sebuah kesatuan yang kokoh, melalui persamaan sejarah sebagai peng­huni gugusan bangsa yang pernah dijajah selama be­rabad-abad oleh bangsa lain, dalam hal ini Belanda dan Jepang. Kehadiran kolonialisme, setuju atau tidak, telah memberikan andil yang penting untuk menyatukan bang­sa Indonesia, sebagai sesama warga bangsa yang men­galami nasib penderitaan yang sama. Di samping per­samaan sejarah, pluralisme Indonesia juga diikat oleh kondisi obyektif bangsa Indonesia sebagai suatu negara bangsa yang menjunjung tinggi azas kebersamaan, baik kondisi obyektif maupun kondisi subyektif. Kesatuan ke­bangsaan ini juga biasa diistilahkan dengan nasional­isme Indonesia.

Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme terbuka, sebagaimana dijelaskan di dalam UUD 1945 yang di da­lamnya mengatur hak-hak azasi manusia, seperti hak ber­serikat, hak beragama, hak berbudaya dan hak budaya itu sendiri, mengakui hak-hak internasional dan hak-hak ke­manusiaan lainnya. Nasionalisme Indonesia bukanlah na­sionalisme tertutup dalam arti mengandalkan dan menin­jolkan unsur kekuatan dalam (inner werkende gaist), lalu kekuatan dalam ini digunakan sebagai alat pembentur den­gan unsur-unsur lain yang berasal dari luar dirinya. Misal­nya, menolak kehadiran budaya dan aliran asing yang ber­beda dengan kekuatan dalam tadi. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA