Al-Qur’an memberikan pelajaran berharga tentang diÂalog. Turunnya wahyu berangur-angsur sesungguhnya itu bagian dari dialog, bagian dari dialektika masyarakat yang mendapatkan pengakuan Tuhan. Meskipun Tuhan Maha Pemaksa (al-Qahhar) tetapi ia tidak memnggunaÂkan hak proregatifnya. Penciptaan alam dilakukan denÂgan proses kun fa yakun, tetapi penjabaran nilai-nilai kemanusiaan Tuhan menunjukkan sifat sabar-Nya (al- Shabur). Ini penting buat kita bahwa, manakala menÂgoder suatu sistem nilai di dalam suatu masyarakat, kesabaran harus didahulukan seperti dicontohkan TuÂhan. Sesungguhnya para Nabi pun juga meniru kekuaÂtan dialog yang diperkenalkan Tuhan. Para Nabi sering mengdekati umatnya dengan kekuatan dialog.
Pelajaran lain bisa dipetik dari kisah Nabi Nuh. Ia berÂdakwah selama 950 tahun tetapi pengikutnya bisa diÂhitung jari, akhirnya ia berdoa agar Allah Swt mengguÂnakan kekuatannya, sehingga umatnya binasa selain yang naik di atas perahu mereka. Ini pula yang membuat Nabi Nuh menyesal seumur hidup sampai di hari PaÂdang Mahsyar karena kesabarannya masih memiliki baÂtas, tidak seperti yang dilakukan Nabi Muhammad Saw. Dabi Hud yang dikisahkan di dalam surah Al-A’raf juga menunjukkan dialog interaktif dengan para tokoh dan pemimpin masyarakatnya. Nabi Shaleh, Nabi Syuáib, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi MuhamÂmad, diabadikan dialog panjangnya dengan umatnya.
Para penganjur Islam pertama para sahabat Nabi dengan mengedepankan dialog, akhirnya satu persatu wilayah-wilayah Timur Tengah mempercayai Islam sebaÂgai agamanya, yang dalam sejarah Islam disebut futuÂhat. Hal yang sama juga telah dilakukan oleh para Wali Songo ketika pertama kali menganjurkan Islam di KepuÂlauan Nusantara. Pertama kali mereka melakukan diaÂlog dengan raja-raja lokal dengan menunjukkan akhlaq karimahnya, sambil berdagang dan berdakwah. KekuaÂtan dialog menjadi ciri khas mereka. Tidak pernah bosan berdialog bahkan dihujat dan dimaki sesuatu yang biasa bagi mereka yang memiliki jiwa besar.
Kebiasaan untuk berdialog merupakan latihan untuk memilki jiwa besar dan dada yang lapang. Orang yang tidak biasa dan tidak mau berdialog hatinya kecil, nyalÂinya kerdil, dadanya sumpek, dan pikirannya sempit. BahÂkan orang-orang yang anti dialog cenderung memilih jalur potong kompas, termasuk menggunakan kekerasan, bahÂkan dengan cara terorisme. Justru hal ini tidak pernah diÂcontohkan dalam setiap agama. Rahasia kesuksesan para Nabi bukan Karena melalui peperangan atau kekerasan tetapi pada umumnya melalui jalan dialog. Allahui a’lam. ***