Merawat Toleransi (54)

The Power of Dialog

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Jumat, 20 Januari 2017, 08:04 WIB
<i>The Power of</i> Dialog
Nasaruddin Umar/Net
DIALOG memiliki kekuatan luar biasa. Allah Swt pun berdialog dengan iblis, malaikat, dan manusia. Proses dialo­gis inilah yang seharusnya menjadi ciri setiap agama dan umat beragama. Al­lah Swt menurunkan ayat-ayat suci Al- Qur’an dalam kurun waktu 23 tahun. Mengapa tidak sekaligus? Kurang apa power yang dimiliki Tuhan un­tuk memaksakan kehendaknya kepa­da makhluk lemahnya yang bernama manusia? Kenapa tidak menggunakan kekuatan "Kun fa yakun", langsung Al- Qur’an turun sekaligus dan nilai-nilainya terimplementasi di dalam masyarakat juga sekaligus? Sudah barang ten­tu di sini ada pelajaran penting buat manusia, khususnya umat beragama. Kekuatan dialog mampu mengangkat dan menghidupkan kembali komunitas masyarakat yang sudah jatuh berkeping-keping.

Al-Qur’an memberikan pelajaran berharga tentang di­alog. Turunnya wahyu berangur-angsur sesungguhnya itu bagian dari dialog, bagian dari dialektika masyarakat yang mendapatkan pengakuan Tuhan. Meskipun Tuhan Maha Pemaksa (al-Qahhar) tetapi ia tidak memngguna­kan hak proregatifnya. Penciptaan alam dilakukan den­gan proses kun fa yakun, tetapi penjabaran nilai-nilai kemanusiaan Tuhan menunjukkan sifat sabar-Nya (al- Shabur). Ini penting buat kita bahwa, manakala men­goder suatu sistem nilai di dalam suatu masyarakat, kesabaran harus didahulukan seperti dicontohkan Tu­han. Sesungguhnya para Nabi pun juga meniru kekua­tan dialog yang diperkenalkan Tuhan. Para Nabi sering mengdekati umatnya dengan kekuatan dialog.

Pelajaran lain bisa dipetik dari kisah Nabi Nuh. Ia ber­dakwah selama 950 tahun tetapi pengikutnya bisa di­hitung jari, akhirnya ia berdoa agar Allah Swt menggu­nakan kekuatannya, sehingga umatnya binasa selain yang naik di atas perahu mereka. Ini pula yang membuat Nabi Nuh menyesal seumur hidup sampai di hari Pa­dang Mahsyar karena kesabarannya masih memiliki ba­tas, tidak seperti yang dilakukan Nabi Muhammad Saw. Dabi Hud yang dikisahkan di dalam surah Al-A’raf juga menunjukkan dialog interaktif dengan para tokoh dan pemimpin masyarakatnya. Nabi Shaleh, Nabi Syuáib, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muham­mad, diabadikan dialog panjangnya dengan umatnya.

Para penganjur Islam pertama para sahabat Nabi dengan mengedepankan dialog, akhirnya satu persatu wilayah-wilayah Timur Tengah mempercayai Islam seba­gai agamanya, yang dalam sejarah Islam disebut futu­hat. Hal yang sama juga telah dilakukan oleh para Wali Songo ketika pertama kali menganjurkan Islam di Kepu­lauan Nusantara. Pertama kali mereka melakukan dia­log dengan raja-raja lokal dengan menunjukkan akhlaq karimahnya, sambil berdagang dan berdakwah. Kekua­tan dialog menjadi ciri khas mereka. Tidak pernah bosan berdialog bahkan dihujat dan dimaki sesuatu yang biasa bagi mereka yang memiliki jiwa besar.

Kebiasaan untuk berdialog merupakan latihan untuk memilki jiwa besar dan dada yang lapang. Orang yang tidak biasa dan tidak mau berdialog hatinya kecil, nyal­inya kerdil, dadanya sumpek, dan pikirannya sempit. Bah­kan orang-orang yang anti dialog cenderung memilih jalur potong kompas, termasuk menggunakan kekerasan, bah­kan dengan cara terorisme. Justru hal ini tidak pernah di­contohkan dalam setiap agama. Rahasia kesuksesan para Nabi bukan Karena melalui peperangan atau kekerasan tetapi pada umumnya melalui jalan dialog. Allahui a’lam.  ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA