Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, radikalisme atau yang biasa disebut hard linÂer diartikan sebagai paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Dalam Ensiklopedi Indonesia dijelaskan "radikalisme" adalah semua aliran politik, yang para pengikutnya menghendaki konsekuenÂsi yang ekstrim, setidak-tidaknya konsekuensi yang paling jauh dari pengejawantahan ideologi yang mereka anut.
Dua pengertian radikalisme di atas diketahui bahwa radikalisme adalah upaya perubahan dengan cara kekerasan, drastis dan ekstrim.
Radikalisme dalam arti populer ialah suatu paham yang mempunyai keyakinan ideologi tinggi dan fanatik serta selalu berjuang untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang sedang berlangsung. Mereka berusaha untuk mengganti tatanan nilai tersebut dengan tatanÂan nilai baru sesuai dengan apa yang diyakinÂinya sebagai tatanan nilai benar. Radikalisme merupakan kompleksitas nilai yang tidak berdiri sendiri melainkan ikut ditentukan berbagai fakÂtor; termasuk faktor ekonomi, politik, dan pemaÂhaman ajaran agama. Radikalisme bisa menÂingkat menjadi terorisme manakala pemerintah atau masyarakat salah dalam menanganinya.
Sedangkan liberalisme secara umum diartiÂkan sebagai suatu paham yang berusaha unÂtuk memilih kebebasan berprilaku (
try to keep a liberal attitude) dengan menonjolkan sikap
fair-minded, open-minded dan toleransi. Begitu beÂsar toleransinya sehingga kebatilan dan kekuÂfuran pun ditoleransi.
Liberalisme dalam pengertian popular ialah suatu paham mengedepankan kebebasan dan acuannya hanya kepada dasar-dasar Hak Asasi Manusia (HAM) dan HAM pun dibatasi pada huÂmanitarianisme atau dalam bahasa filsafat disÂebut antropocentrisme. Antroposentrisme ialah paham serba manusia. Yang bisa memanusiaÂkan manusia ialah manusia itu sendiri. Manusia dalam paham ini tidak membutuhkan kekuatan luar di luar diri manusia seperti Tuhan, Dewa, agama untuk memanusiakan diri manusia. KeÂbalikan dari paham ini ialah teosentrisme, yaitu suatu paham yang serba Tuhan (jabariyah).
Pemahaman liberalisme seperti ini bisa membahayakan kehidupan agama dan berÂbagsa. Islam yang mengenal Tuhan sebagai sumber nilai-nilai kebenaran paling tinggi dan bangsa Indonesia yang menganut paham dan ideologi Pancasila, tentu tidak sejalan dengan paham liberalisme di atas. Kewajiban manusia untuk menyembah Tuhan dan keharusan warÂga Negara Indonsia menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya dan agama membuat liberalisme sulit tumbuh di bumi Indonesia. Namun demikiÂan, liberalisme memiliki banyak "topeng" yang bisa dicermati secara kritis. Boleh jadi sesÂeorang berteriak-teriak anti liberalisme tetapi pada saat bersamaan ia menjadi bagian dari gaya hidup liberalisme. Sebaliknya mungkin ada kelompok mengatasnamakan diri sebagai kelompok liberal tetapi sesungguhnya ia terÂmasuk anti liberalisme. Seseorang yang musÂlim sejati dan warga Indonesia sejati rasanya tidak akan pernah mungkin menjadi orang libÂeralis tulen. Tidak mungkin liberalisme bisa satu atap dengan nilai-nilai luhur agama dan budaya Indonesia. ***