Merawat Toleransi (45)

Mewaspadai Mengecilnya Kelompok Moderat

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Rabu, 11 Januari 2017, 08:27 WIB
Mewaspadai Mengecilnya Kelompok Moderat
Nasaruddin Umar/Net
KELOMPOK moderat merupakan kekuatan utama NKRI. Eksistensi dan keberadaannya perlu dipertahankan. Selama kelompok ini masih kuat dan dominan di dalam bangsa ini, maka selama itu kekuatan NKRI akan terpelihara. Yang di­maksud kelompok moderat di sini ialah kelompok keagamaan yang men­empuh garis moderat di dalam memandu ke­hidupannya, baik sebagai pribadi, anggota ke­luarga, maupun sebagai warga bangsa. Yang tidak termasuk kelompok moderat ialah kelom­pok yang menempuh garis keras atau radikal dan kelompok garis liberal di dalam memandu kehidupannya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, radikalisme atau yang biasa disebut hard lin­er diartikan sebagai paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Dalam Ensiklopedi Indonesia dijelaskan "radikalisme" adalah semua aliran politik, yang para pengikutnya menghendaki konsekuen­si yang ekstrim, setidak-tidaknya konsekuensi yang paling jauh dari pengejawantahan ideologi yang mereka anut.

Dua pengertian radikalisme di atas diketahui bahwa radikalisme adalah upaya perubahan dengan cara kekerasan, drastis dan ekstrim.

Radikalisme dalam arti populer ialah suatu paham yang mempunyai keyakinan ideologi tinggi dan fanatik serta selalu berjuang untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang sedang berlangsung. Mereka berusaha untuk mengganti tatanan nilai tersebut dengan tatan­an nilai baru sesuai dengan apa yang diyakin­inya sebagai tatanan nilai benar. Radikalisme merupakan kompleksitas nilai yang tidak berdiri sendiri melainkan ikut ditentukan berbagai fak­tor; termasuk faktor ekonomi, politik, dan pema­haman ajaran agama. Radikalisme bisa men­ingkat menjadi terorisme manakala pemerintah atau masyarakat salah dalam menanganinya.

Sedangkan liberalisme secara umum diarti­kan sebagai suatu paham yang berusaha un­tuk memilih kebebasan berprilaku (try to keep a liberal attitude) dengan menonjolkan sikap fair-minded, open-minded dan toleransi. Begitu be­sar toleransinya sehingga kebatilan dan keku­furan pun ditoleransi.

Liberalisme dalam pengertian popular ialah suatu paham mengedepankan kebebasan dan acuannya hanya kepada dasar-dasar Hak Asasi Manusia (HAM) dan HAM pun dibatasi pada hu­manitarianisme atau dalam bahasa filsafat dis­ebut antropocentrisme. Antroposentrisme ialah paham serba manusia. Yang bisa memanusia­kan manusia ialah manusia itu sendiri. Manusia dalam paham ini tidak membutuhkan kekuatan luar di luar diri manusia seperti Tuhan, Dewa, agama untuk memanusiakan diri manusia. Ke­balikan dari paham ini ialah teosentrisme, yaitu suatu paham yang serba Tuhan (jabariyah).

Pemahaman liberalisme seperti ini bisa membahayakan kehidupan agama dan ber­bagsa. Islam yang mengenal Tuhan sebagai sumber nilai-nilai kebenaran paling tinggi dan bangsa Indonesia yang menganut paham dan ideologi Pancasila, tentu tidak sejalan dengan paham liberalisme di atas. Kewajiban manusia untuk menyembah Tuhan dan keharusan war­ga Negara Indonsia menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya dan agama membuat liberalisme sulit tumbuh di bumi Indonesia. Namun demiki­an, liberalisme memiliki banyak "topeng" yang bisa dicermati secara kritis. Boleh jadi ses­eorang berteriak-teriak anti liberalisme tetapi pada saat bersamaan ia menjadi bagian dari gaya hidup liberalisme. Sebaliknya mungkin ada kelompok mengatasnamakan diri sebagai kelompok liberal tetapi sesungguhnya ia ter­masuk anti liberalisme. Seseorang yang mus­lim sejati dan warga Indonesia sejati rasanya tidak akan pernah mungkin menjadi orang lib­eralis tulen. Tidak mungkin liberalisme bisa satu atap dengan nilai-nilai luhur agama dan budaya Indonesia. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA