Sementara nyaris tiada perhatian terhadap pengadilan gugatan warga Bukit Duri terhadap pemerintah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan PTUN padahal pengadilan gugatan Bukit Duri terlebih dahulu diselenggarakan. Yang hadir pada setiap kali pengadilan gugatan warga Bukit Duri paling-paling para warga Bukit Duri sendiri didampingi para pengacara mereka serta para pembela tergugat.
Padahal bobot keadilan yang terkandung di pengadilan gugatan Bukit Duri sebenarnya cukup seru untuk ditonton sebab pihak tergugat adalah tidak kurang dari pemerintah yang digugat melakukan pelanggaran hukum, sekaligus pelanggaran HAM plus pelanggaran kemanusiaan adil dan beradab yang terkandung di dalam Pancasila.
Agar saya tidak keliru menulis maka lebih aman saya copy-paste email pendekar kemanusiaan dari Jeneponto merangkap mahaguru kemanusiaan saya, Sandyawan Sumardi yang senantiasa setia mendampingi rakyat miskin sebagai berikut:
Pokok gugatan warga Bukit Duri terhadap Pemprov DKI dalam sidang PTUN, adalah bahwa penerbitan Surat Peringatan Satpol PP DKI Jakarta, untuk melakukan penggusuran paksa untuk kepentingan proyek normalisasi, sama sekali sudah tidak ada dasar hukumnya ("groundless"). Perda 1 tahun 2012 tentang proyek normalisasi sudah daluwarsa tahun 2015.
Adapun gugatan "Class Action" warga Bukit Duri di PN Pusat juga sama, bahwa penggusuran paksa Bukit Duri itu sama sekali tidak ada dasar hukumnya, bahkan melanggar hukum, UU 2/2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, secara khusus menyangkut ganti-rugi, dan mengabaikan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) proyek normalisasi sungai Ciliwung, yang menyatakan bahwa baik Kementrian Lingkungan Hidup, Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta Pemprov DKI Jakarta pada dasarnya mengakui bahwa tanah di bantaran sungai Ciliwung adalah tanah rakyat. Kalau pemerintah membutuhkan tanah tersebut untuk kepentingan proyek pembangunan pemerintah, maka pemerintah harus taat hukum mengikuti prosedur ganti rugi, yang mekanismenya diatur dalam Amdal itu, bahkan termasuk bagi warga yang sama sekali tidak punya surat tapi de facto berdomisili di tanah itu, maka berhak mendapatkan ganti rugi.
Dengan penggusuran paksa dan memaksa warga untuk menerima Rumah Susun Sewa Rawa Bebek sebagai satu-satunya solusi, tanpa proses dialog dan demokrasi partisipatif, dan jelas menghancurkan kehidupan dan hak-hak ekoonomi, sosial, budaya dan politik warga Bukit Duri, Pemprov DKI telah melanggar asas-asas pemerintahan yang baik, dan jelas melanggar hak-hak asasi manusia.
Berdasar paparan Sandyawan Sumardi diperkuat pernyataan Komnas HAM, LBH, Majelis Hakim PN dan PTUN, mantan Ketua MK Prof. Mahfud MD, Menkumham Dr. Yasonna Laoly dapat disimpulkan bahwa Pemprov DKI telah melakukan pelanggaran lipat tiga yaitu pelanggaran hukum sekaligus pelanggaran HAM plus pelanggaran asas kemanusiaan adil dan beradab terkandung di dalam Pancasila.
Jelas telah terjadi ketidak-adilan perhatian terhadap pengadilan gugatan warga Bukit Duri!
Sebenarnya dalam hal urgensi untuk diperhatikan, pengadilan gugatan warga Bukit Duri tidak kalah penting ketimbang pengadilan dugaan penistaan agama. Pengadilan gugatan warga Bukit Duri penting diperhatikan oleh publik dan pers demi mendukung perjuangan majelis hakim menegakkan pilar-pilar keadilan.
Insya Allah, vonis Majelis Hakim akan benar-benar adil demi membuktikan Indonesia BUKAN negara hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas, sehingga pemerintah sadar bahwa mereka TIDAK boleh sewenang-wenang melanggar hukum, HAM dan Pancasila sekaligus!
[***]Penulis adalah pendamba keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Catatan:
Ketika naskah ini selesai tersusun, 5 Januari 2017 Majelis Hakim PTUN mengabulkan gugatan warga Bukit Duri. Insya Allah, akan disusul oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat