Geger Kendeng

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/jaya-suprana-5'>JAYA SUPRANA</a>
OLEH: JAYA SUPRANA
  • Selasa, 03 Januari 2017, 10:41 WIB
<i>Geger Kendeng</i>
Jaya Suprana/Net
MAHAGURU kemanusiaan saya, Sandyawan Sumardi memberitahu bahwa Murtini, pejuang kerakyatan yang pernah membelenggukan kedua kakinya ke dalam padatan semen, dipanggil polisi. Saya terkejut lalu heran, sebab setahu saya para pejuang Geger Kendeng sudah pernah diterima Presiden Jokowi di Istana Negara di saat mana presiden menyatakan dukungan terhadap perjuangan Geger Kendeng.

Agar saya dapat lebih memahami duduk permasalahan, Sandyawan mengirimkan tulisan anggota Forum Kampung Kota, Ubaidillah Achmad berjudul "Murtini dan Ultramen Dalam Konflik Geger Kendeng".

Ubaidillilah Achmad berkisah bahwa Murtini, adalah seorang di antara para petani yang masih gigih dan sabar menggugah kesadaran manusia terhadap arti lingkungan lestari dan relasi suci kosmologi.

Kesadaran inilah yang melahirkan pengetahuan yang tidak diduga atau sengaja diabaikan oleh para industriwan dan para ilmuwan, bahwa industri potensial berdampak buruk pada lingkungan, ekologi, lapisan ozon, dan manusia.

Perjuangan Murtini telah mengundang perhatian masyarakat luas tidak terbatas pada masyarakat Rembang, namun juga masyarakat Indonesia bahkan dunia.

Banyak pihak turut berpartisipasi mengingatkan kepada pemerintah maupun swasta, yang mengizinkan pendirian industri di lingkungan masyarakat padat penduduk.

16 Juni 2014, Murtini bersama puluhan perempuan dari Desa Timbrangan dan Tegaldowo Gunem Rembang berani menghentikan masuknya alat berat ke dalam area tapak pabrik semen di desa mereka. Murtini menguatirkan pabrik dan tambang semen akan mengancam suplay air yang mereka butuhkan untuk pertanian dan penghidupan masyarakat, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang untuk kebutuhan anak cucu.

Kesadaran Murtini yang berdampak pada jangka panjang ini, sudah ia lakukan sama dengan yang dilakukan para leluhur sebelumnya. Misalnya, kearifan masyarakat lokal untuk menanam pohon jati yang diharapkan akan dapat dipetik oleh anak cucu.

Deret kisah perjuangan Murtini tidak cuma di pabrik, namun bersama ibu-ibu Kendeng terus melakukan serangkaian aksi. Misalnya, aksi mengiringi proses persidangan, aksi Kartini Mencari Jokowi, aksi Long March, membelenggukan kaki ke padatan semen di depan Istana Negara, aksi budaya Kupatan Kendeng, aksi menghantarkan surat undangan pembuktian kebenaran AMDAL.

Sayang, alih-alih melanjutkan isi amar keputusan MA, Pemprov Jateng malah menerbitkan izin baru bagi PT. Semen Indonesia di Rembang yang berarti mengingkari keputusan hukum.

16 Desember 2016, Murtini menerima surat panggilan dari Polda Jateng.

Kisah tragedi Murtini menyadarkan saya bahwa penindasan rakyat atas nama pembangunan secara melanggar hukum ternyata bukan hanya di Bukit Duri saja. Tampaknya penyakit angkara-murka menindas rakyat memang sudah mewabah ke berbagai kawasan Nusantara masa kini. Semangat pembangunan berkelanjutan diterjemahkan menjadi semangat pembangunan nirkelanjutan yang tega mengorbankan lingkungan alam, budaya bahkan manusia.

Insya Allah pada pilkada 2017, rakyat akan lebih cermat dan seksama dalam memilih kepala daerah  demi mencegah daerah mereka masing-masing terlanjur dikuasai kepala daerah yang tega melaksanakan pembangunan dengan mengorbankan lingkungan alam, budaya bahkan manusia. [***]

Penulis pemrihatin nasib rakyat tergusur

< SEBELUMNYA

Hikmah Heboh Fufufafa

BERIKUTNYA >

Dirgahayu Indonesia

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA