Saya sangat mengagumi tokoh Semar sebagai personifikasi rakyat yang sebenarnya jauh lebih bijak dan lebih sakti-mandraguna ketimbang para raja, presiden, perdana menteri, diktator di macapada ini. Semar adalah penjelmaan dewa, Batara Ismaya. Di dunia yang diutus turun ke bumi.
Di macapada, Semar didampingi tiga puteranya yaitu Gareng, Petruk dan Bagong. Namun sebenarnya masih ada para tokoh punakawan lainnya yaitu Togog dan Bilung. Dalam satu di antara sekian banyak versi Wayang Purawa, terkisah Sanghyang Wenang menyelenggarakan sayembara untuk memilih penguasa kahyangan dari keempat anaknya yang lahir dari sebutir telur.
Lapisan telur yakni kulit paling luar diberi nama Batara Antaga; selaput telur diberi nama Batara Sarawita; putih telur Batara Ismaya; dan kuning telur Batara Manikmaya.
Sayembara diselenggarakan dengan syarat barang siapa dari keempat dewa tersebut dapat menelan bulat-bulat dan memuntahkan kembali Gunung Mahameru maka dialah yang akan terpilih menjadi penguasa kahyangan.
Pada giliran pertama Batara Antaga mencoba untuk melakukannya, namun yang terjadi malah mulutnya robek dan
ngedower menjadi Togog akibat memaksakan diri untuk menelan sesuatu padahal mulut tidak muat.
Giliran Batara Sarawita salah menelan gunung yang sedang aktif dan mendadak meletus sebelum dia menelannya membuat seluruh tubuhnya rusak dan bopeng-bopeng menjadi Bilung.
Giliran berikutnya adalah Batara Ismaya yang melakukannya, Gunung Mahameru dapat ditelan bulat-bulat tetapi tidak bisa dikeluarkan kembali karena jadilah Semar berperut buncit karena ada gunung nyumpal di dalamnya.
Akibat bahan sayembara sudah musnah ditelan Semar maka yang berhak memenangkan sayembara dan diangkat menjadi penguasa kadewatan adalah Sang Hyang Manikmaya atau Batara Guru, anak bungsu dari Sang Hyang Wenang.
Sementara Togog, Bilung dan Semar akhirnya diutus turun ke marcapada untuk menjadi penasihat, dan pamong pembisik makna sejati kehidupan dan kebajikan pada manusia.
Semar bersama tiga putranya ditugaskan sebagai pamong untuk para satria berwatak baik yaitu Pandawa. Togog dan Bilung diutus sebagai pamong untuk para satria dengan watak buruk yaitu Kurawa.
Sebenarnya tugas Togog dan Bilung jauh lebih berat ketimbang Semar dan anak-anaknya. Togog dan Bilung bertugas mendampingi para satria berwatak buruk yang tentu lebih sulit dibina untuk menjadi baik ketimbang satria berwatak baik.
Dalam pergelaran wayang, Semar beserta anak-anaknya dianggap sebagai tokoh baik. Namun akibat dianggap berpihak ke para tokoh buruk maka Togog dan Bilung selalu di-
bully para penonton yang tidak paham bahwa sebenarnya Togog dan Bilung mengemban tugas mulia yang lebih berat ketimbang Semar dan anak-anaknya.
Hyper-polarisasi opini publik semacam itu juga terjadi pada kenyataan politik masa kini. Mereka yang dianggap berpihak ke kubu lawan politik otomatis dianggap hukumnya wajib di-
bully habis oleh laskar
buzzers yang seolah terprogram seperti robot untuk melalui medsos langsung menghabisi siapa saja yang dianggap berpihak ke kubu lawan politik. [***]
Penulis adalah pembelajar makna falsafah hidup terkandung Wayang Purwa