Di antara UU itu ialah UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, khususnya pasal 28 jo. Pasal 45 ayat (2); UU. No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, khususnya pasal 16; UU No. 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial; dan yang terakhir agak kontroversi ialah Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial.
Surat Edaran Kapolri adalah referensi palÂing jelas dan terukur tentang bentuk dan kriteria HS. Pada nomor (2) huruf (f) Surat Edaran itu disebutkan: "Ujaran kebencian dapat berupa tinÂdak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-UnÂdang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan piÂdana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk antara lain:1) Penghinaan. 2)Pencemaran nama baik. 3) Penistaan. 4)Perbuatan tidak menyenangkan. 5) Memprovokasi. 6) Menghasut. 7) Menyebarkan berita bohong, dan semua tindakan di atas memiÂliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak disÂkriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial."
Ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas, bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas yang dibeÂdakan dari aspek: 1) Suku. 2) Agama. 3) Aliran Keagamaan. 4) Keyakinan atau kepercayaan. 5) Ras. 6) Antargolongan. 7) Warna kulit. 8) Etnis. 9) Gender. 10) Kaum difabel. 11) Orientasi sekÂsual. Bahkan Surat Edaran ini lebih terinci sampai kepada media pengungkapan HS, sebagaimana bisa dilihat pada huruf (h), yaitu: 1) Dalam orasi kegiatan kampanye. 2) Spanduk atau banner. 3) Jejaring media social. 4) Penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi). 5) Ceramah keaÂgamaan. 6) Media massa cetak atau elektronik. 7) Pamflet.
Dari pengertian operasional dan bahasa teknis dalam Surat Edaran Kapolri tersebut di atas bisa menjelaskan banyak hal yang selama ini masih abal-abal. Aparat hukum, khususnya aparat keÂpolisian bisa bekerja dengan tegas dengan dikeÂluarkannya Surat Edaran ini. Aparat kepolisian selama ini terjadang lebih banyak menjadi penonÂton di dalam menyaksikan sebuah orasi yang seÂsungguhnya sangat berpotensi menyulut emosi massa. Namun pihak Kepolisian juga akan berÂhadapan ancaman yang tidak ringan manakala salah tangkap. Dalam praperadilan anggota polisi sering kali dikalahkan.
Surat Edaran Kaporli ini pada mulanya menuai kontroversi, terutama muncul dari kalangan aktifis LSM, praktisi Media, dan tentu saja dari para poliÂtisi, karena mereka khawatir kebebasannya bisa tereduksi atau bisa diancam dengan sanksi hokum tertentu. Namun sosialisasi dan penjelasan Kapolri yang sepertinya tidak mengenal lelah menjelaskan tujuan Surat Edaran itu, akhirnya para pihak berÂsikap diam dan sebagian ilmuan dan praktisi hukum menilai positif, karena bisa memberikan kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang abal-abal di dalam masyarakat selama ini. Bentuk-benÂtuk RHS di atas jika diukur dengan ukuran agama maka jelas tidak sejalan dengan visi dan misi ajaÂran agama, khususnya dalam Islam. Untuk tujuan apapun Religious Hate Speech tidak pernah ditolerÂir. Bahkan Al-Qur'an dengan tegas menyatakan: "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan bijaksana dan nasehat yang baik dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik" (Q.S. al- Nahl/16:125). ***