Di luar dugaan, ternyata asrama pengungsi Poncol rapih, tertib, bersih, hiegienis. Suasana emosional warga tergusur eh tertertib juga cenderung optimis ketimbang pesimis. Kesan positif tersebut dapat diyakini tidak dibuat-buat sebab kunjungan kami bersifat mendadak alias tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
Sebenarnya saya merasa malu berjumpa dengan para warga Bukit Duri korban penertiban di asrama pengungsi Poncol, akibat pada tanggal 28 September 2016 terbukti saya tidak berdaya mencegah aksi penertiban Pemprov DKI Jakarta membumiratakan gubuk-gubuk warga Bukit Duri yang kini terpaksa mengungsi itu.
Ternyata para pengungsi akibat musibah penertiban di Poncol menyambut kedatangan saya dan ibu Ayla dengan penuh ramah-tamah nan tulus. Tampaknya mereka memaafkan ketidak-berdayaan saya sebab mahfum bahwa saya memang mustahil berdaya melawan penertiban yang dilakukan oleh laskar penertiban Pemprov dilengkapi mesin-mesin berat ukuran raksasa kaliber Transformers dikawal polri dan TNI!
Yang menarik, adalah pada saat kunjungan di tengah hari itu, mayoritas warga yang berada di asrama Poncol adalah manula dan anak-anak kecil. Ternyata sebagian warg sedang tidak berada di asrama Poncol akibat memang ke luar asrama demi menunaikan perjuangan mencari nafkah masing-masing. Di sini, terbukti keabsahan alasan keberatan warga dipaksa pindah ke rusunawa yang di samping wajib bayar sewa juga terletak di lokasi lebih dari duapuluh kilometer dari Bukit Duri sebagai lokasi pencarian nafkah sehari-hari mereka.
Dipaksa pindah ke rusunawa yang lokasinya nun jauh dari lokasi permukiman, berarti sama saja dengan mencabut akar sumber nafkah rakyat. Bahkan di pelataran depan asrama, ada sebuah warung makan pemilik seorang warga yang mencari nafkah melalui usaha warung makan. Ada pula semacam counter meja kecil menjajakan minuman dalam kemasan serta jamu yang dikelola seorang penghuni asrama Poncol. Counter tersebut tidak ada yang menjaga, akibat saling percaya yang sudah terjalin di antara warga penghuni asrama Poncol.
Di serambi depan asrama kami duduk di sebuah benda kumuh mirip sofa dengan lebih banyak lubang ketimbang busa penutup tempat duduknya.
Dari perbincangan dengan warga korban penertiban Bukit Duri yang kini menghuni asrama Poncol terkesan betapa dahsyat gelora semangat perjuangan hidup maju-tak-gentar, rawe-rawe-rantas-malang-malang-putung, patah-satu-tumbuh-seribu dalam menghadapi angkara-murka yang mengendala perjuangan hidup mencari nafkah demi menghidupi diri serta sanak-keluarga masing-masing.
Para korban penertiban yang mengungsi di asrama Poncol maupun tersebar di beberapa kos-kosan di sekitar Bukit Duri tetap bersatupadu dalam mengajukan gugatan class-action menuntut keadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan PTUN Jakarta Utara. Dengan sabar mereka bersatupadu dalam menanti keputusan majelis hakim. Mereka semua masih percaya bahwa para penegak hukum akan menegakkan keadilan seadil-adilnya adil sesuai asas kemanusiaan adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia di Tanah-Air-Udara tercinta kita bersama ini.
[***]Penulis adalah pemrihatin nasib para korban penertiban atas nama pembangunan