Pemilihan nomenklatur sensitif, yang bisa membangkitkan sentimen keagamaan umat, perlu sangat hati-hati, terutama oleh para pejaÂbat atau publik figur. Mungkin saja niatnya baÂgus tetapi perlu diingat tidak semua niat bagus baik untuk diungkapkan. Siapapun perlu hati-hati dalam menggunakan istilah yang sensitif, walau hanya untuk dicandakan. Banyak konflik keagamaan terjadi disebabkan karena semberÂono mengungkapkan bahasa dan istilah sensiÂtif. Gus Dur sering menuai badai kritik karena sering mengungkapkan bahasa sensitif secara ceplas-ceplos. Namun Gus Dur mudah dimaafÂkan masyarakat karena memiliki sosial dan spiritual saving yang banyak.
Contoh wacana 'Fikih Kebhinnekaan' yang beÂlum lama ini diangkat Muhammadiyah dan ‘IsÂlam Nusantara' yang diangkat NU menuai banÂyak kritikan dari warganya sendiri, maupun dari kalangan publik. Fikih kebhinnekaan dicurigai akan mengintip Piagam Jakarta. Islam Nusantara dituding akan menenggelamkan Islam Aswaja (
Ahlu Sunnah wal Jamaah) yang digagas para pendiri NU. Contoh lain ketika media memopulerÂkan istilah Perda Syari'ah, tetangga kita AustraÂlia menaruh curiga, jangan sampai kelak akan bertetanggaan dengan komunitas Taliban, yang sudah distigmakan garis keras. Sesungguhnya isu Perda Syari’ah yang dikatakan selangkah lagi menuju Piagam Jakarta, tidak perlu mendatangÂkan kekhawatiran berlebihan, karena para pengÂgagas Perda Syari'ah tidak menonjolkan ideoloÂgi tetapi kesadaran syar'i yang tumbuh di dalam pluralitas masyarakat. Bahkan tidak satupun noÂmenklatur resmi di Indonesia menggunakan istiÂlah Perda Syari'ah. Soal substansinya ada yang mengakomodir nilai-nilai syari'ah memang iya, tetapi nilai-nilai syari'ah tersebut sudah melebur menjadi adat kebiasaan (
living law) masyarakat setempat.
Kelompok yang sensitif sesungguhnya bukan hanya komunitas keagamaan yang mengkhawatÂirkan warganya jatuh ke ideologi radikal atau liberal, tetapi juga komunitas non-keagamaan, yang dulu diistilahkan Clifford Geerts sebagai kelompok abangan dan priyayi. Mereka dengan jargon-jarÂgon keagamaan yang semakin banyak menggeÂjala sebagai bahasa publik. Mereka khawatir janÂgan sampai memang negara ini akan betul-betul menjurus menjadi negara agama seperti banyak negara di kawasan Timur-Tengah, atau bermuara kepada kemungkinan terwujudnya agama negara seperti Malaysia.
Bangsa kita sedang sensitif terhadap berbaÂgai istilah. Ada kecenderungan warga bangsa kita semakin saling mencurigai satu sama lain. Lebih khusus hal ini bisa dilihat pada tokoh-tokoh politik, baik yang berada di dalam struktur formal pemerintahan maupun yang berada di luarnya. Masyarakat akar rumput terkadang bingung terhÂadap perilaku elite masyarakat yang begitu gamÂpang membesar-besarkan persoalan kecil atau mengecilkan persoalan besar. Kearifan lokal yang lebih mengedepankan titik temu (
centripetal) lebih cenderung bergeser untuk lebih mengedepankÂan perbedaan (
centrifugal). Lebih membingungÂkan lagi ada tokoh yang seharusnya memberiÂkan pesan pencerahan tiba-tiba menjadi tokoh provokator, yang sibuk menghujat satu kelomÂpok dan memuji berlebihan kelompok lain, yang ternyata setelah dideteksi mereka juga memiliki agenda kepentingan praktis. Kini betapa sulitnya masyarakat mencari figur teladan, guru bangsa, dan tokoh sang pencerah. ***