Persoalan konflik yang terjadi di berbagai beÂlahan dunia tidak jarang terjadi karena dipicu sentimen perbedaan penafsiran Kitab Suci. Ada segolongan sering memperatasnamakan suatu penafsiran lalu menyerang kelompok lain, karÂena mengklaim dirinya paling benar. Ironisnya, tidak jarang terjadi justru kelompok minoritas yang menyatakan kelompok mayoritas atau mainstream yang sesat. Kelompok pemurni ajaran (puritanisme) seringkali mengklaim diri paling benar dan mereka merasa perlu memÂbersihkan ajaran agama dari berbagai
khurafat dan
bid’ah. Namun kelompok mayoritas yang diobok-obok seringkali di antaranya tidak menÂerima serangan pembid'ahan itu karena meraÂsa berdasar dari sumber ajaran dan dipandu oleh ulama besar. Akibatnya kelompok mayoriÂtas melakukan penyerangan terhadap kelomÂpok minoritas tersebut.
Kasus seperti ini bukan hanya terjadi di IndoÂnesia, tetapi juga di negara-negara mayoritas muslim lain. Penyerangan aliran yang dianggap "sesat" oleh majlis ulama seringkali menjadi tarÂget. Di antara berbagai golongan saling mengÂkafirkan dan saling usir-mengusir dan bahkan bunuh-bunuhan lantaran dipicu penafsiran sumber ajaran agama. Tentu saja kenyataan ini sangat disesalkan karena mereka sama-sama berpegang kepada kitab suci yang sama tetapi mereka saling bermusuhan satu sama lain.
Di Indonesia yang mengenal motto Bhinneka Tunggal Ika seharusnya konflik horizontal tidak perlu terjadi. Meskipun suku, etnik, agama denÂgan berbagai aliran dan mazhabnya berbeda-beda namun persamaan historis sebagai satu bangsa yang pernah mengalami pahit getÂirnya perjuangan melawan penjajah membuat perbedaan-perbedaan tersebut ibarat sebuah lukisan yang berwarna-warni, membuat lukisan itu menjadi lebih indah. Nuansa keindonesiaan ini seharusnya mampu melenturkan kelomÂpok-kelompok etnik dan ajaran agama di InÂdonesia. Sudah sekian lama konflik horizontal tidak pernah terjadi di Indonesia dalam masa proto Indonesia. Belakangan setelah Indonesia bersentuhan dengan nilai-nilai kemasyarakaÂtan baru, sebagai pengaruh globalisasi, bangÂsa Indonesia mulai berkenalan dengan konflik horizontal yang bertema keagamaan. KristalÂisasi nilai-nilai keindonesiaan telah berhasil mengantarkan bangsa ini menjadi satu kesatÂuan wilayah geografis dan kultural yang kuat, sehingga mampu mengusir kekuatan penjajah. Terjadinya konflik horizontal yang bertema etnik dan keagamaan dalam dasawarsa terakhir ini, membuat kita bertanya, ada apa dengan rasa keindonesiaan kita akhir-akhir ini? Sudah saatÂnya Bhinneka Tunggal Ika kembali menyadarÂkan kita untuk merajut kembali persatuan dan kesatuan sebagai warga bangsa. ***