Wajah keagamaan di dalam masyarakat bisa dipolakan ke dalam dua bentuk, yaitu waÂjah eksoteris dan wajah esoteris. Wajah eksotÂeris lebih menekankan analisis teks secara leÂgal formalistik (
fiqh oriented). Pemahaman teks biasanya langsung diarahkan pada aspek priÂlaku manusia yang berhubungan dengan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Pendekatan ini banyak dilakukan oleh jumhur ulama, sebagaimana dapat dilihat pada sejumÂlah kitab tafsir populer (mu’tabarah), seperti Tafsir Al-Qurthubi, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al- Maragi, Tafsir Jalalain, dll.
Kedua, wajah esoteris yang lebih menekankan analisis hakekat dan makna batin di balik teks. Analisis teks dilakukan hanya sekadar untuk memahami konten sebuah teks. Kelompok ini seringkali melakukan pemaknaan secara metaforik sejumlah teks. Contoh karya esoteris ialah kitab-kitab tafsir tasawus (isyari) dan umÂumnya kitab-kitab tafsir syi’ah, seperti Tafsir Al- Shafi, Tafsir Al-Qummy, Taqrib Al-Qur’an Ila Al- Azhan, dll.
Pendekatan eksoteris lebih menekankan penafsiran teks secara denotatif, sedangkan pendekatan esoteris lebih menekankan pemaknaan konotatif terhadap teks. Pendekatan eksoteris lebih sering dilakukan oleh ulama sunni, sedanÂgkan pendekatan esoteris lebih sering dilakuÂkan oleh ulama syi’ah. Meskipun sama-sama berpegang teguh pada sebuah kitab suci yang sama, tetapi kedua kelompok ini seringkali berÂbeda pendapat, bahkan berkonflik karena perÂbedaan metodologis.
Kita perlu lebih hati-hati jika menyikapi perbedaan pendapat kedua kelompok ini, sebab dalam segi-segi tertentu sulit dipersatukan. Jika kita mau bersabar mendalami kedua metÂodologi ini sama-sama memberikan kepuasan tersendiri. Tafsir-tafsir sunni sangat logis dan sulit untuk dibantah, namun jika kita mendalaÂmi penjelasan sejumlah pendapat kaum syi’ah dengan metode esoteriknya, rasanya juga bisa difahami dan dihayati. Seandainya saja kedua metodologi ini dapat digabungkan, maka tenÂtu saja bisa memberikan perspektif yang lebih positif, karena itu artinya memberikan kepuaÂsan logika dan penghayatan lebih mendalam.
Agaknya kurang bijaksana jika kita menilai suatu karya esoterik melalui kacamata eksoterÂik, demikian pula sebaliknya, kurang bijaksana menilai karya eksoterik dengan kacamata esoÂterik. Bisa dipastikan penilaian tersebut penuh dengan bias yang tidak produktif. Dengan deÂmikian, kita juga sebaiknya hati-hati menghaÂkimi sebuah pemikiran hanya lantaran perbeÂdaan cara pandang dan metodologis.
Dalam konteks masyarakat yang plural sepÂerti Indonesia, yang ideal ialah kombinasi antara kedua pendekatan tersebut. Pola eksoteris seÂlama ini lebih banyak diintrodusir oleh kelomÂpok Salafi dan atau Wahabi, sedangkan pola esoterik lebih banyak diintrodusir oleh kelomÂpok syiah dan kelompok sufi-tarekat. Indonesia sesungguhnya sejak awal sudah menyintesaÂkan antara keduanya. Bahkan yang ikut masuk di dalam sintasa itu ialah nilai-nilai kosmologi lokal, sepeti filosofi Jawa, Melayu, Bugis, dll. Bagaimana cara mneggabungkan kedua metÂodologi ini perlu dicarikan berbagai upaya, yang jelas upaya itu pasti lama, karena memerlukan pendekatan multi disipliner. ***