Ngono Yo Ngono Ning Ojo Ngono

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/jaya-suprana-5'>JAYA SUPRANA</a>
OLEH: JAYA SUPRANA
  • Kamis, 22 Desember 2016, 15:10 WIB
<i>Ngono Yo Ngono Ning Ojo Ngono</i>
Jaya Suprana/Net
SEBAGAI pendiri Pusat Studi Kelirumologi, bagi saya jelas bahwa sweeping atribut Natal merupakan perilaku keliru apabila dilakukan bukan oleh kepolisian.

Namun sebagai penggagas Alasanologi, saya wajib menelaah lebih jauh mengenai apa sebenarnya alasan masyarakat melakukan sweeping atribut Natal. Ternyata ada beranekaragam alasan. Misalnya akibat pihak tertentu mewajibkan umat Islam untuk mengenakan atribut Natal. Ada pula alasan bahwa pihak kepolisian tidak melakukan tindakan terhadap pemaksaan atribut Natal bagi bukan umat Nasrani padahal MUI sudah menyatakan fatwa bahwa pemaksaan atribut Natal bagi umat Islam tidak dibenarkan.

Mungkin masih ada alasan lain yang belum terdeteksi antena alasanologis saya yang memang terbatas kemampuannya.

Namun pada hakikatnya tanpa sedikit pun membenarkan masyarakat melakukan sweeping yang sebenarnya kewenangan dan kewajiban polisi, secara alasanologis sweeping atribut Natal dapat dimengerti. Mengerti bukan berarti membenarkan.

Masyarakat awam melakukan sweeping akibat - sesuai penjelasan MUI - keluhan para karyawan yang kebetulan beragama Islam merasa diri mereka dipaksa menggunakan atribut Natal oleh pimpinan perusahaan mereka.

Maka tidak keliru, MUI mengeluarkan fatwa yang tidak membenarkan para karyawan yang beragama Islam dipaksa menggunakan atribut Natal oleh perusahaan. Juga tidak keliru apabila para karyawan yang kebetulan Muslim merasa tidak nyaman apabila diri mereka dipaksa menggunakan atribut agama lain.

Yang keliru adalah pihak pelaku yang tidak berhak melakukan sweeping turun tangan sendiri melakukan sweeping ke lembaga yang dianggap melakukan pemaksaan penggunaan atribut Natal bagi para karyawan Muslim.

Secara alasanologis maupun sebagai sesama pengusaha, saya pribadi dapat mengerti alasan perusahaan mengeluarkan peraturan internal perusahaan termasuk peraturan bahwa segenap karyawan diwajibkan mengenakan atribut Natal. Alasan bisa sebagai upaya penyeragaman namun juga bisa sebagai sejenis  gimmick marketing memanfaatkan suasana Natal demi keberhasilan pemasaran produk yang dipasarkan oleh masing-masing perusahaan yang mewajibkan karyawan mereka menggunakan atribut Natal.

Secara kelirumologis, sebenarnya anggapan bahwa atribut Natal sebagai citra keagamaan adalah keliru. Yang kaprah dianggap sebagai atribut Natal sebenarnya lebih merupakan atribut sosial bahkan komersial belaka. Makna Natal sebagai perayaan kelahiran Jesus Kristus yang dilahirkan di sebuah kandang ternak yang sangat sederhana sebenarnya lebih terletak pada kesederhanaan ketimbang kemilau gemerlap keduniawian di hotel, restoran atau pusat perbelanjaan. Atribut Natal yang berasal dari daerah empat musim di kawasan utara katulistiwa juga tidak sesuai dengan kenyataan alam di daerah dua musim atau yang terletak di kawasan selatan katulistiwa.

Setiap perusahaan memang memiliki hak asasi untuk menentukan kebijakan internal diri masing-masing termasuk kebijakan internal mengenai atribut Natal. Namun disamping perusahaan memiliki Hak Asasi Perusahaan, pada hakikatnya para karyawan sebagai manusia juga memiliki Hak Asasi Manusia. Di samping Hak Asasi Manusia masih ada kewajiban Asasi Manusia.

Maka indah, apabila manusia berkenan mengejawantahan Kewajiban Asasi Manusia dengan senantiasa berupaya mengerti, menghormati dan menghargai sesama manusia, ketimbang terlalu sibuk menuntut Hak Asasi Manusia bagi kepentingan diri sendiri masing-masing.

Maka sebenarnya tidak keliru, apabila para pemimpin perusahaan sebagai pemegang kekuasaan berkenan mengalah untuk tidak terlalu mutlak bersikeras membela Hak Asasi Perusahaan. Makin lebih tidak keliru lagi apabila para pemimpin perusahaan berkenan mengutamakan Kewajiban Asasi Manusia untuk mengerti, menghormati dan menghargai keyakinan religius para karyawan sesuai wejangan almarhum Gus Dur 'Agamamu Agamamu, Agamaku Agamaku'.

Sebenarnya banyak falsafah menjunjung tinggi nilai etika dan kepantasan sebagai bagian utama  peradaban, misalnya di peradaban Jawa hadir falsafah: ngono yo ngono ning ojo ngono. [***]

Penulis pembelajar makna Kewajiban asasi manusia

< SEBELUMNYA

Hikmah Heboh Fufufafa

BERIKUTNYA >

Dirgahayu Indonesia

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA