Al-Qur’an hanya pernah mengingatkan dengan sebuah pernyataan: "Berapa banyak terjadi goÂlongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar." (Q.S. al-Baqarah/2:249). Ayat ini mengingatkan umat Islam ketika berada dalam posisi mayoritas untuk berhat-hati, sebab mayoritas bukan jaminan untuk selalu menang di dalam perjuangan.
Sekecil apapun sebuah kelompok di dalam masyarakat harus diperhatikan. Safwan ibn Sulaiman meriwayatkan sebuah hadis yang menÂceritakan Nabi Muhammad Saw pernah bersabda: "Barangsiapa yang mendhalimi seorang muhad (orang yang pernah melakukan perjanjian damai) atau melecehkan mereka, membebani beban di luar kesanggupan mereka, atau mengambil harta tanpa persetujuan mereka saya akan menjadi laÂwannya nanti di hari kiyamat". (HR. Abu Daud). Nabi dengan begitu tegas memberikan kepemihakan kepada kelompok minoritas tanpa membedakan jenis kelamin, etnik, agama, dan kepercayaan. Hadis ini sebenarnya sejalan dengan semangat ayat: Walaqad karramna Bani Adam (Dan sesungÂguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam). (Q.S. Al-Isra'/17:70).
Tradisi Nabi ini dilanjutkan oleh para sahabatnya. Suatu ketika Umar ibn Khaththab. Suatu ketika Umar blusukan di daerah-daerah, ia menyaksikan langsung sekelompok non-muslim dihukum dengan berjemur di bawah terik panas matahari di salah satu daerah di Syam (Syiria). Umar bertanya keÂnapa mereka dihukum seperti ini? Dijawab karena mereka enggan membayar pajak (juzyah). Khalifah Umar kelihatannya tidak setuju dengan hukuman seperti ini dan ia meminta agar mereka dibebaskan dengan hukuman seperti itu. Umar juga meminta kepada para penguasa lokal agar mereka tidak membebani mereka dengan beban di luar kesÂanggupan mereka, dan memperlakukan mereka sebagai manusia seperti halnya memperlakukan umat Islam. Khalifah Umar juga pernah menemuÂkan salah seorang pengemis buta dan tua dari kalangan non-muslim. Umar bertanya, dari ahlul kitab mana engkau wahai kakek tua? Kakek tua itu menjawab: Aku adalah seorang yahudi. Umar melanjutkan pertanyaannya: Apa yang membuatmu seperti begini? Kakek itu menjawab: Aku memÂbutuhkan makanan dan kebutuhan pokok. Umar membawa kakek itu ke rumahnya dan membuat secarik memo yang isinya meminta petugas Baitul mal (Perbendaharaan Negara) yang isinya: "Tolong perhatikan orang ini dan orang-orang semacam ini. Demi Allah, kita tidak menyadari kalau kita telah memakan hartanya lalu kita mengabaikannya di asa tuanya. Sesungguhnya shadaqah itu untuk fakir miskin. Fuqara itu orang muslim dan fuqara ini orang miskin dari ahlul kitab".
Yang menarik dari hadis dan pengalaman shabat Nabi di atas ialah pemberian bantuan dan pertolonÂgan di dalam Islam ialah lintas agama dan budaya. Bantuan dan pertolongan dari umat Islam bukan hanya diadreskan kepada kelompok muslim tetapi juga kepada kelompok non-muslim, sebagaimana ditunjukkan oleh Nabi dan Khulafaur Rasyidin, khususnya Umar ibn Khaththab. Kemiskinan dan ketÂerbelakangan itu tidak hanya terjadi di kalangan umat Islam tetapi juga oleh kelompok agama lain. Siapa pun mereka jika memerlukan bantuan dan pertolongan punya hak untuk dibantu, walaupun harus diambilkan dari kas Negara (Bait al-Mal), sebagaimana ditunjukÂkan oleh Umar ibn Khaththab. ***