Islam sebagai agama sangat menekankan perlunya memupuk kedamaian. Islam barasal dari kata aslama-yuslimu berarti memberi keÂdamaian. Agak ironis jika atas nama Islam lalu kita melakukan tindakan yang mencederai keÂdamaian, apalagi menciptakan rasa takut kepaÂda orang lain. Tuhan memberi nama agamanya dengan Islam, bukan salam yang mengisyaratÂkan kementahan umat, bukan juga istislam yang mengisyaratkan ekslusivisme. Islam (benÂtuk ruba'i) lebih bernuansa moderat. Tanpa meÂnambahkan kata tawassuthiyyah (moderat), sesungguhnya Islam sudah mengisyaratkan moderat. Kata tawassuthiyyah lebih berarti penekanan (muqayyad) dari pada berarti sifat (shifah).
Nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan saÂma-sama menekankan pentingnya kedamaian dan persaudaraan. Sangatlah tidak tepat jika atas nama keagamaan (Islam) dan kebangsaan (keindonesiaan) lantas suasana kedamaian terÂusik. Mestinya kata Islam dan keindonesiaan sama-sama memberikan nuansa kedamaian. Jika antara keislaman dan keindonesiaan berÂhadap-hadapan, apalagi berkonflik satu sama lain maka tentu sangat disayangkan. Jika hal itu terjadi pasti ada sesuatu yang salah. Pasti ada salah satu di antaranya atau kedua-duanya berubah pola. Kedua komponen utama bangsa ini selalu harus dirawat dengan cara garis deÂmarkasinya dipelihara sedemikian rupa sehingÂga satu sama lain tidak terjadi ketegangan yang tidak akan menguntungkan siapun.
Banyak cara orang menampilkan rasa dan raÂsio keagamaannya di dalam masyarakat. Ada yang lebih menekankan aspek substansi ajaran agamanya diimplementasikan di dalam kehiduÂpan masyarakat. Ada juga yang lebih menekankÂan aspek formal-logic ajaran agamanya terlebih dahulu harus diwujudkan guna mewadahi kepentÂingan umat beragama. Tentu ada juga orang yang secara simultan memulai penerapan substansi nilai-nilai ajaran agam pada dirinya seraya berÂjuang dan menunggu isntitusi dan pranata keaÂgamaannya terwujud di dalam masuarakat.
Dalam masyarakat plural seperti Indonesia, cara paling efektif menampilkan corak keagamaan kita ialah dengan cara-cara toleran, kooperatif, dan demokratis. Cara-cara seperti ini jangan diÂartikan cara paling rendah dan lemah seseorang menampilkan ajaran agamanya. Dengan kata lain, bukanlah orang yang beragama secara kuat diukur melalui kekuatan dan konsistensi seseÂorang memegang ajaran agamanya di dalam keÂhidupan masyarakat. Cara ini tidak peduli orang lain dan dalam keadaan apapun dan di manapun ia konsisten menampilkan aspek formal-logic ajaran agamanya. Seringkali kita menyaksikan orang mengintrupsi sebuah pertemuan tanpa membedakan pertemuan penting atau tidak pentÂing, demi untuk para peserta menyelenggarakan ibadah kemudian dilanjutkan sesudahnya. Orang tersebut tidak salah karena memang ada ajaran agama menganjurkan orang beribadah di awal waktu lebih baik, namun kenyataan sejarah juga menunjukkan bahwa terkadang ibadah ditangÂguhkan beberapa saat demi untuk menuntasÂkan sebuah pembicaraan penting. Memaksakan kehendak pribadi di tengah komunitas lain tanpa memilah kepentingannya merupakan cara yang kurang bijaksana.