Merawat Toleransi (18)

Belajar Dari Fathu Makkah

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Sabtu, 10 Desember 2016, 08:18 WIB
Belajar Dari Fathu Makkah
Nasaruddin Umar/Net
PEREBUTAN kembali kita suci Makkah (Fathu Mak­kah/FM) sebuah pelajaran besar bagi umat Islam atau siapapun. FM sebuah rev­olusi besar tanpa setetes darah mengucur. FM dalam sejarah merupakan salah­satu prestasi kecerdasan Nabi di dalam menyelesai­kan problem kemasyarakatan.

Berawal ketika tekanan dan siksaan kaum Quraisy Makkah semakin meningkat dan mer­eka merencanakan untuk mengeksekusi Nabi di tengah malam. Kediaman Nabi dipagar be­tis pasukan elite kafir Quraisy. Untung Nabi be­serta Abu Bakar lolos dari pagar betis tersebut. Akhirnya Nabi dan komunitas muslim lainnya di Makkah mengungsi besar-besaran ke Yatsrib, kemudian diganti nama ini menjadi Madinah oleh Nabi Muhammad Saw.

Di Madinah Nabi membangun kekuatan umat di samping menggalakan syiar ke kabilah dan suku bangsa secara luas, sampai ke negeri tetang­ga. Setelah merasa cukup kuat, Nabi mengatur strategi untuk merebut Kota Makkah. Nabi memi­lih penyerangan malam hari Ramadhan. Ia mem­bagi tiga pasukannya sebagai taktik. Satu kelom­pok lewat bukit, satu kelompok lewat lembah, dan kelompok lain di jalur normal. Abi Sufyan, pimpi­nan kaum Kafir Quraisy, tidak menyangka pasu­kan Rasulullah berjumlah besar dan dengan tak­tik yang canggih. Ia mengira pasukan Rasulullah hanya yang lewat jalan normal. Ternyata saat yang tepat pasukan bukit dan pasukan lembah berjumpa di perbatasan Kota Makkah.

Kaum kafir Quraisy Makkah sangat keta­kutan. Mereka menunggu diri mereka diek­sekusi sebagaimana layaknya tradisi perang kabilah, yang kalah laki-lakinya dibunuh dan perempuannya dijadikan budak bersama anak-anaknya. Alangkah kagetnya mereka setelah Nabi meneriakkan Antum thulaqa (kalian se­mua sudah bebas!). "Siapa yang masuk ke da­lam pekerangan Ka’bah aman, masuk ke rumah Abi Sufyan aman, dan masuk ke dalam rumah dan mengunci rumah juga aman". Akhirnya Abi Sufyan bersama pembesar Quraisy menyerah dan bersedia mengikuti petunjuk Nabi.

Selanjutnya Nabi meminta kepada para pimpinan pasukannya untuk menyatakan: Al-yaum yaum al-marhamah (Hari ini hari kasih sayang). Salah seorang sahabat Nabi berteri­ak: al-yaum yaumul malhamah (hari ini adalah hari pertumpahan darah). Penduduk Makkah kembali ketakutan lalu Abi Sufyan protes, kena­pa menjadi hari pertumpahan darah padahal tadi diumumkan hari kasih sayang dan hari pengam­punan. Nabi menjawab, tidak begitu maksudnya. Sahabat itu cadal, tidak bisa menyebut huruf ra, sehingga huruf ra diucapkan dengan la. Harus­nya al-yaum yaumul al-marhamah (hari ini hari kasih sayang) diucapkan al-yaum yaum al-mal­hamah (hari ini hari pertumpahan darah).

Setelah itu Nabi meminta sahabat tadi berhenti bicara dan mengikuti persepakatan. Penyelesa­ian Fathu Makkah sangat manusiawi dan meny­alahi tradisi perang Arab. Hari itu betul-betul tidak ada balas dendam. Revolusi tanpa setetes darah. Revolusi tanpa balas dendam. Revolusi dengan biaya murah, dan revolusi yang melahirkan keu­tuhan dan kedamaian monumental. Itulah revolu­si Nabi. Dunia tercengang menyaksikan kearifan seorang Nabi Muhammad. Rekonsiliasi yang di­lakukan Nabi patut dicontoh oleh siapapun juga. Inilah revolusi tanpa setetes darah.

Penyelesaian Fathu Makkah sangat manusiawi dan menyalahi tradisi perang Arab, bahwa negeri yang ditaklukkan laki-lakinya dibunuh dan perem­puannya dijadikan budak. Hari itu betul-betul tidak ada balas dendam. Revolusi tanpa pertumpahan darah. Revolusi tanpa balas dendam. Revolusi dengan biaya murah, dan revolusi yang melahir­kan keutuhan dan kedamaian monumental. Rev­olusi sosial yang sukses selalu ada tokoh ber­wibawa dan rakyat yang solid di dalamnya. Itulah FM yang berhasil melahirkan masyarakat ideal tanpa risiko mahal.  

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA