Jika ucapan salam diniatkan sebagai wujud silaturrahim, maka lebih mudah kita memahami kedudukan salam bagi non-muslim. Sebuah riÂwayat dari Ama' binti Abi Bakar (W.73H) bertanÂya kepada Nabi prihal kedatangan ibunya yang masih bersatatus non-muslim. Apakah boleh menyambut dan bersilaturrahim dengannya, lalu Nabi menjawab: "Sambutlah ibumu dan bersilaturrahimlah dengannya". (HR. Bukhari dan Muslim).
Riwayat lain dari 'Aisyah ra (W.58H) menceriÂtakan, sekelompok Yahudi datang kepada Nabi sambil mengatakan:
Assamu alaikum (kebinasaan atasmu), lalu Aisyah menjawab:
WaalaikumusÂsam wa al-la'nah (atasmu juga kebinasaan dan laknat). Mendengarkan istrinya menjawab salam seperti itu, Nabi menegur: "Pelan-pelan wahai AiÂsyah, sesungguhnya Swt menyukai kelembutan dalam setiap perkara". Aisyah membela: "Apakah engkau tidak mendengar apa yang mereka kataÂkan kepadamu?" Nabi menjawab: "Engkau telah menjawab dengan kata wa’alaikumussam". (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam satu riwayat juga disebutkan, Umar ibn Khaththab pernah disalami seorang non-muslim dalam perjalanan di tengah padang pasir. Salam orang itu ialah:
Asamu alaikum (kebinasaan atas kalian). Umar menghunus pedangnya dan memÂbunuh orang itu. Sahabat yang menyertainya kaget dan bertanya, kenapa engkau membunuh orang yang menyalamimu? Umar menjelaskan, apakah kalian tidak perhatikan ucpaannya yang mengatakan:
Assamu alaikum?
Dalam hadis Nabi juga pernah menegaskan: "Maukah kamu aku kutunjukkan kepada sesÂuatu yang apabila kamu lakukan, kamu akan saling mencintai? Yaitu sebarkanlah salam di antara kalian" (HR. Muslim). Hadis ini sejalan dengan ayat: "Dan jika dihormati dengan suatu penghormatan, balaslah penghormatan itu denÂgan yang lebih baik dari padanya (yang seruÂpa)." (Q.S. al-Nisa'/4:86).
Dari keterangan dalil-dalil di atas dapat disÂimpulkan, tidak ada masalah memberi salam atau menerima salam kepada atau dari umat non-muslim, jika itu dengan niat yang baik serta sesuai ucapan salam yang lumrah diucapkan, seperti ucapan salam yang bersifat generik atau salam universal, semisal Selamt Pagi, Selamat Siang, Selamat Malam, dan Salam Sejahtera. Namun perbedaan pendapat muncul manakala kita memberi salam dengan menggunakan simÂbol salam agama masing-masing untuk komuÂnitas lain. Sebagian ulama berpendapat boleh memberi atau menjawab salam dengan salam standar muslim kepada atau dari umat non-muslim Sebagian lagi berpendapat tidak boleh karena itu khas umat Islam. Sebagian ulaÂma seperti Ibn Qayyim, Imam Al-Qurtubi, Ibnu Hajar al-'Asqallani, Imam Al Qaradawi, dan Yusuf Qardhawi membolehkan umat Islam mendahului memberi salam kepada orang-orang non-musÂlim. Alasannya antara lain ayat dalam al-Qur'an: "Di antara melakukan kebaikan adalah memberi salam kepada mereka". (Q.S. Maryam/19:47), yakni Nabi Ibrahim memberi salam kepada ayahÂnya yang non-muslim.