Merawat Toleransi (16)

Memberi Salam Kemanusiaan

Rabu, 07 Desember 2016, 08:22 WIB
Memberi Salam Kemanusiaan
Nasaruddin Umar/Net
MEMBERI salam sangat di­anjurkan oleh semua agama. Bahkan, Islam mewajibkan menjawab salam. Memberi salam kepada warga non-muslim masih sering men­jadi hal yang kontroversi di dalam masyarakat. Kontro­versi itu sebagai suatu bukti kebhinnekaan bangsa kita. Ada yang membolehkan secara terbuka, ada yang membolehkan dengan syarat, dan ada yang tidak membolehkannya. Jika kita sebagai umat Islam sekaligus warga bangsa dihadap­kan kepada beberapa pilihan, yang dipilih ialah yang bisa merangkul semua, dalam arti memi­lih pendapat yang moderat. Karena salah satu modal utama langgengnya NKRI ialah kebersa­maan.

Jika ucapan salam diniatkan sebagai wujud silaturrahim, maka lebih mudah kita memahami kedudukan salam bagi non-muslim. Sebuah ri­wayat dari Ama' binti Abi Bakar (W.73H) bertan­ya kepada Nabi prihal kedatangan ibunya yang masih bersatatus non-muslim. Apakah boleh menyambut dan bersilaturrahim dengannya, lalu Nabi menjawab: "Sambutlah ibumu dan bersilaturrahimlah dengannya". (HR. Bukhari dan Muslim).

Riwayat lain dari 'Aisyah ra (W.58H) menceri­takan, sekelompok Yahudi datang kepada Nabi sambil mengatakan: Assamu alaikum (kebinasaan atasmu), lalu Aisyah menjawab: Waalaikumus­sam wa al-la'nah (atasmu juga kebinasaan dan laknat). Mendengarkan istrinya menjawab salam seperti itu, Nabi menegur: "Pelan-pelan wahai Ai­syah, sesungguhnya Swt menyukai kelembutan dalam setiap perkara". Aisyah membela: "Apakah engkau tidak mendengar apa yang mereka kata­kan kepadamu?" Nabi menjawab: "Engkau telah menjawab dengan kata wa’alaikumussam". (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam satu riwayat juga disebutkan, Umar ibn Khaththab pernah disalami seorang non-muslim dalam perjalanan di tengah padang pasir. Salam orang itu ialah: Asamu alaikum (kebinasaan atas kalian). Umar menghunus pedangnya dan mem­bunuh orang itu. Sahabat yang menyertainya kaget dan bertanya, kenapa engkau membunuh orang yang menyalamimu? Umar menjelaskan, apakah kalian tidak perhatikan ucpaannya yang mengatakan: Assamu alaikum?

Dalam hadis Nabi juga pernah menegaskan: "Maukah kamu aku kutunjukkan kepada ses­uatu yang apabila kamu lakukan, kamu akan saling mencintai? Yaitu sebarkanlah salam di antara kalian" (HR. Muslim). Hadis ini sejalan dengan ayat: "Dan jika dihormati dengan suatu penghormatan, balaslah penghormatan itu den­gan yang lebih baik dari padanya (yang seru­pa)." (Q.S. al-Nisa'/4:86).

Dari keterangan dalil-dalil di atas dapat dis­impulkan, tidak ada masalah memberi salam atau menerima salam kepada atau dari umat non-muslim, jika itu dengan niat yang baik serta sesuai ucapan salam yang lumrah diucapkan, seperti ucapan salam yang bersifat generik atau salam universal, semisal Selamt Pagi, Selamat Siang, Selamat Malam, dan Salam Sejahtera. Namun perbedaan pendapat muncul manakala kita memberi salam dengan menggunakan sim­bol salam agama masing-masing untuk komu­nitas lain. Sebagian ulama berpendapat boleh memberi atau menjawab salam dengan salam standar muslim kepada atau dari umat non-muslim Sebagian lagi berpendapat tidak boleh karena itu khas umat Islam. Sebagian ula­ma seperti Ibn Qayyim, Imam Al-Qurtubi, Ibnu Hajar al-'Asqallani, Imam Al Qaradawi, dan Yusuf Qardhawi membolehkan umat Islam mendahului memberi salam kepada orang-orang non-mus­lim. Alasannya antara lain ayat dalam al-Qur'an: "Di antara melakukan kebaikan adalah memberi salam kepada mereka". (Q.S. Maryam/19:47), yakni Nabi Ibrahim memberi salam kepada ayah­nya yang non-muslim. 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA