Merawat Toleransi (15)

Kebebasan Beribadah

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Selasa, 06 Desember 2016, 09:00 WIB
Kebebasan Beribadah
Nasaruddin Umar/Net
rmol news logo Kebebasan beribadah salah satu bentuk hak asasi paling mendasar. Apapun agamanya, sebaiknya jan­gan pernah ada di antara kita menghalangi orang lain menjalankan praktik ibadahnya, selama tidak ada unsur penistaan agama lain di da­lamnya. Misalnya mengklaim praktik ibadahnya sebagai ajaran Islam tetapi se­sungguhnya bukan dari ajaran Islam.

Gagasan Fikih Kebhinnekaan yang pernah diwacanakan sejumlah pemikir Muhammadiyah perlu ditindaklanjuti, karena gagasan itu memberi ruang leluasa kepada kelompok minoritas untuk menjalankan agama dan kepercayaannya secara merdeka. Bukankah sejak awal Nabi Muhammad Saw selalu memberikan hak beribadah kepada umat non-muslim. Al-Qur'an sendiri menying­gung tidak kurang 15 kali kata Yahudi, 10 kali kata Nashrani, termasuk beberapa kali agama-agama lain seperti Majusi, dan Shabi’in. Ini artinya Al-Qur'an memberi pengakuan akan keberadaan agama lain selain Islam, meskipun bagi umat Is­lam tentu agama yang benar di sisinya ialah Is­lam sebagaimana dalam ayat: Innad din 'indallah al-Islam (Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam). Upaya untuk mengajak orang lain memilih Islam dilakukan dengan bijaksana, sebagaima­na ditegaskan di dalam ayat-Nya: Ud’u ila sabili Rabbika bil hikmah wal mau'idhatil hasanah, wa jadilhum billati hiya ahsan (Ajaklah oarng-orang ke jalan Tuhanmu dengan penuh kebijakan (hik­mah), dengan nasihat yang baik, dan ajaklah ber­dialog dengan cara-cara yang lebih baik).

Tidak pernah terekam dalam sejarah Nabi Muhammad Saw mencekal seseorang melaku­kan ibadah, asal yang dilakukan itu betul-betul ibadah sesuai dengan tuntunan agamanya. Bahkan Nabi selalu mewanti-wanti umatnya jika melakukan peperangan dengan suatu kaum agar tidak merusak atau menghancurkan rumah-rumah ibadah mereka. Larangan seperti ini terus dipertahankan oleh para Khulafaur Ra­syidin yang melanjutkan kepemimpinan Nabi setelah ia wafat. Dalam tulisan Albalaziri diku­tip sebuah riwayat yang menuliskan perjanjian Nabi dengan non-muslim yang di antara pasal­nya disebutkan sebuah redaksi cukup menarik, yaitu: "Seorang uskup tidak mesti mengubah keuskupannya, begitu pula seorang rahib tidak perlu mengubah kerahibannya, dan begitu pula seorang pendeta tidak perlu merubah kepende­taannya" (h. 76).

Dalam kesempatan lain Nabi pernah bersab­da sebagaimana dikutip dalam buku Albalaziri: "Barangsiapa yang tetap dalam agama Yahudi atau Nashrani maka ia tidak akan dipersoalkna" (h. 82). Bahkan di dalam Kitab Ibn Katsir meng­utip sebuah riwayat, Nabi Muhammad Saw per­nah memberikan izin kepada delegasi tokoh lin­tas agama, khususnya mereka yang beragama Nashrani Najran melakukan kebaktian di samp­ing mesjid Nabi ketika mereka melakukan kun­jungan persahabatan dengan Nabi. (Jilid IV h. 91).

Tradisi Nabi itu dilanjutkan Khalifah Umar bin Khaththab. Kebijakannya terhadap penduduk Ili­yah (Palestina) ditegaskan bahwa: "Gereja-gereja mereka tidak dapat ditinggali (oleh orang-orang Is­lam), dirobohkan, atau dikurangi, termasuk pagar-pagarnya, begitu pula salib-salib mereka dan apa saja dari kekayaan mereka. Mereka tidak boleh dipaksa atas agamanya, dan tidak boleh ada di antara mereka yang mendapatkan mudharat". (Li­hat kembali artikel terdahulu tentang Piagam Ael­iya). Hal yang sama juga dilakukan oleh Amr bin 'As, memberikan kebebasan sepenuhnya umat non-muslim melakukan ibadah dan merawat ru­mah-rumah ibadah mereka dengan baik. Ia mem­berikan jaminan kebebasan beragama kepada seluruh wilayah yang dikuasainya dan mengan­jurkan kepada pemerintah di tingkat daerah agar menjamin hak-hak beribadah semua pihak. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA