Gagasan Fikih Kebhinnekaan yang pernah diwacanakan sejumlah pemikir Muhammadiyah perlu ditindaklanjuti, karena gagasan itu memberi ruang leluasa kepada kelompok minoritas untuk menjalankan agama dan kepercayaannya secara merdeka. Bukankah sejak awal Nabi Muhammad Saw selalu memberikan hak beribadah kepada umat non-muslim. Al-Qur'an sendiri menyingÂgung tidak kurang 15 kali kata Yahudi, 10 kali kata Nashrani, termasuk beberapa kali agama-agama lain seperti Majusi, dan Shabi’in. Ini artinya Al-Qur'an memberi pengakuan akan keberadaan agama lain selain Islam, meskipun bagi umat IsÂlam tentu agama yang benar di sisinya ialah IsÂlam sebagaimana dalam ayat:
Innad din 'indallah al-Islam (Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam). Upaya untuk mengajak orang lain memilih Islam dilakukan dengan bijaksana, sebagaimaÂna ditegaskan di dalam ayat-Nya:
Ud’u ila sabili Rabbika bil hikmah wal mau'idhatil hasanah, wa jadilhum billati hiya ahsan (Ajaklah oarng-orang ke jalan Tuhanmu dengan penuh kebijakan (hikÂmah), dengan nasihat yang baik, dan ajaklah berÂdialog dengan cara-cara yang lebih baik).
Tidak pernah terekam dalam sejarah Nabi Muhammad Saw mencekal seseorang melakuÂkan ibadah, asal yang dilakukan itu betul-betul ibadah sesuai dengan tuntunan agamanya. Bahkan Nabi selalu mewanti-wanti umatnya jika melakukan peperangan dengan suatu kaum agar tidak merusak atau menghancurkan rumah-rumah ibadah mereka. Larangan seperti ini terus dipertahankan oleh para Khulafaur RaÂsyidin yang melanjutkan kepemimpinan Nabi setelah ia wafat. Dalam tulisan Albalaziri dikuÂtip sebuah riwayat yang menuliskan perjanjian Nabi dengan non-muslim yang di antara pasalÂnya disebutkan sebuah redaksi cukup menarik, yaitu: "Seorang uskup tidak mesti mengubah keuskupannya, begitu pula seorang rahib tidak perlu mengubah kerahibannya, dan begitu pula seorang pendeta tidak perlu merubah kependeÂtaannya" (h. 76).
Dalam kesempatan lain Nabi pernah bersabÂda sebagaimana dikutip dalam buku Albalaziri: "Barangsiapa yang tetap dalam agama Yahudi atau Nashrani maka ia tidak akan dipersoalkna" (h. 82). Bahkan di dalam Kitab Ibn Katsir mengÂutip sebuah riwayat, Nabi Muhammad Saw perÂnah memberikan izin kepada delegasi tokoh linÂtas agama, khususnya mereka yang beragama Nashrani Najran melakukan kebaktian di sampÂing mesjid Nabi ketika mereka melakukan kunÂjungan persahabatan dengan Nabi. (Jilid IV h. 91).
Tradisi Nabi itu dilanjutkan Khalifah Umar bin Khaththab. Kebijakannya terhadap penduduk IliÂyah (Palestina) ditegaskan bahwa: "Gereja-gereja mereka tidak dapat ditinggali (oleh orang-orang IsÂlam), dirobohkan, atau dikurangi, termasuk pagar-pagarnya, begitu pula salib-salib mereka dan apa saja dari kekayaan mereka. Mereka tidak boleh dipaksa atas agamanya, dan tidak boleh ada di antara mereka yang mendapatkan mudharat". (LiÂhat kembali artikel terdahulu tentang Piagam AelÂiya). Hal yang sama juga dilakukan oleh Amr bin 'As, memberikan kebebasan sepenuhnya umat non-muslim melakukan ibadah dan merawat ruÂmah-rumah ibadah mereka dengan baik. Ia memÂberikan jaminan kebebasan beragama kepada seluruh wilayah yang dikuasainya dan menganÂjurkan kepada pemerintah di tingkat daerah agar menjamin hak-hak beribadah semua pihak. ***