Merawat Toleransi (14)

Apa Itu Toleransi?

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Senin, 05 Desember 2016, 09:40 WIB
Apa Itu Toleransi?
Nasaruddin Umar/Net
TOLERANSI (Latin: tolerare) berarti mengendalikan diri, bersabar, memberi kesempatan orang berpendapat lain, dan lapang dada menerima perbedaan. Dalam ka­mus Bahasa Indonesia toleransi diartikan sebagai sikap menghargai, membiarkan, membolehkan pendirian (pendapat, pandangan kepercayaan) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Tol­eransi tidak mesti diartikan membenarkan penda­pat yang berbeda tetapi mengakui hak asasi orang lain untuk berbeda pendapat.

Sikap toleransi mengimplisitkan adanya pen­gakuan terhadap pluralitas dan kebhinnekaan antara sesama warga masyarakat tanpa membeda­kan jenis kelamin, etnik, agama, dan kepercayaan. Toleransi tidak identik dengan pembenaran nilai-nilai yang dianut orang lain. Perbedaan pandangan tetap ada, tetapi perbedaan itu tidak perlu melahirkan pertentangan, apalagi permusuhan satu sama lain.

Toleransi antaraumat beragama artinya pengakuan, bukan pembenaran, terhadap agama-agama orang lain. Biarkanlah orang-orang lain menjalankan agamanya masing-masing, semen­tara kita tetap menjalankan agama kita, tanpa saling mengusik eksistensi dan substansi ajaran agama orang lain. Sangat indah redaksi yang digunakan Al­lah Swt dalam Al-Qur'an: Lakum dinukum wa liya­din (Untukmu agamamu dan untukku agamaku). Mungkin tidak ada kitab suci seterbuka Al-Qur’an dalam mengungkap pentingnya sikap toleransi. Puluhan kali Al-Qur'an menyebutkan eksistensi agama-agama lain secara eksplisit seperti Ya­hudi, Nashrani, dan Majusi. Mungkin kenyataan seperti ini tidak akan pernah ditemukan.

Dalam tradisi Islam, toleransi diistilahkan den­gan tasamuh, dari akar kata samuha-yasmuhu berarti murah hati, memaafkan. Tasamuh sering dihubungkan atau mempunyai kemiripan arti den­gan htimal (akomodatif), tasahul (lapang dada, welcome, dan samhah atau samahah (kemura­han dan kelapangan dada). Nuansa kebatinan tasamuh lebih terasa teduh dan damai daripada toleran yang mengimplikasikan adanya unsur ket­erpaksaan atau tekanan dari luar.

Toleransi atau tasamuh lebih terasa dan ter­lihat maknanya di dalam masyarakat plural dan heterogen seperti di Indonesia yang teradiri atas berbagai etnik, agama, adat-istiadat, dan kearifan lokal. Semakin plural dan heterogen suatu bang­sa atau komunitas semakin perlu sikap toleransi. Masyarakat plural-heterogen tanpa sikap toleran atau tasamuh pasti selalu diwarnai oleh ketegan­gan primordial dan konseptual.

Indonesia sebagai negara bangsa yang besar, amat plural dan heterogen mutlak memerlukan per­awatan sikap toleransi. Jika toleransi terusik, maka ancaman desintegrasi bangsa akan ada. Prinsip Bhinneka Tunggal Ika (bercerai berai tetapi tetap satu) harus mandarah daging bagi segenap warga bangsa Indonesia jika mereka menghendaki neg­erinya hebat. Nasionalisme Indonesia sudah teruji keampuhannya di dalam merawat dan melindungi NKRI. Sudah beberapa kali NKRI diramal oleh para futurolog asing akan hancur berkeping-kping lalu jatuh ke dalam genggaman negara-negara adidaya, tetapi sekali lagi, berkat rahmat Allah Swt, ramalan-ramalan itu masih terus meleset.

Pluralitas dan heterogenitas masyarakat sesung­guhnya adalah ketetapan Allah Swt (sunnatullah). Dalam salah satu ayat Al-Qur’an ditegaskan: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesung­guhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. (Q.S. A-Hujurat/49:13). Dalam ayat lain dite­gaskan lagi: Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memak­sa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? (Q.S. Yunus/10:99). Ked­ua ayat tersebut mengisyaratkan pluralitas dan het­erogenitas masyarakat pasti akan selalu ada. Peng­gunaan kata lau (seandainya) dalam ayat terakhir mengisyaratkan pemustahilan, artinya tidak akan pernah mungkin sebuah masyarakat menjadi utuh dalam satu kesatuan.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA