Sikap toleransi mengimplisitkan adanya penÂgakuan terhadap pluralitas dan kebhinnekaan antara sesama warga masyarakat tanpa membedaÂkan jenis kelamin, etnik, agama, dan kepercayaan. Toleransi tidak identik dengan pembenaran nilai-nilai yang dianut orang lain. Perbedaan pandangan tetap ada, tetapi perbedaan itu tidak perlu melahirkan pertentangan, apalagi permusuhan satu sama lain.
Toleransi antaraumat beragama artinya pengakuan, bukan pembenaran, terhadap agama-agama orang lain. Biarkanlah orang-orang lain menjalankan agamanya masing-masing, semenÂtara kita tetap menjalankan agama kita, tanpa saling mengusik eksistensi dan substansi ajaran agama orang lain. Sangat indah redaksi yang digunakan AlÂlah Swt dalam Al-Qur'an:
Lakum dinukum wa liyaÂdin (Untukmu agamamu dan untukku agamaku). Mungkin tidak ada kitab suci seterbuka Al-Qur’an dalam mengungkap pentingnya sikap toleransi. Puluhan kali Al-Qur'an menyebutkan eksistensi agama-agama lain secara eksplisit seperti YaÂhudi, Nashrani, dan Majusi. Mungkin kenyataan seperti ini tidak akan pernah ditemukan.
Dalam tradisi Islam, toleransi diistilahkan denÂgan tasamuh, dari akar kata samuha-yasmuhu berarti murah hati, memaafkan. Tasamuh sering dihubungkan atau mempunyai kemiripan arti denÂgan
htimal (akomodatif),
tasahul (lapang dada,
welcome, dan samhah atau samahah (kemuraÂhan dan kelapangan dada). Nuansa kebatinan
tasamuh lebih terasa teduh dan damai daripada toleran yang mengimplikasikan adanya unsur ketÂerpaksaan atau tekanan dari luar.
Toleransi atau tasamuh lebih terasa dan terÂlihat maknanya di dalam masyarakat plural dan heterogen seperti di Indonesia yang teradiri atas berbagai etnik, agama, adat-istiadat, dan kearifan lokal. Semakin plural dan heterogen suatu bangÂsa atau komunitas semakin perlu sikap toleransi. Masyarakat plural-heterogen tanpa sikap toleran atau
tasamuh pasti selalu diwarnai oleh keteganÂgan primordial dan konseptual.
Indonesia sebagai negara bangsa yang besar, amat plural dan heterogen mutlak memerlukan perÂawatan sikap toleransi. Jika toleransi terusik, maka ancaman desintegrasi bangsa akan ada. Prinsip Bhinneka Tunggal Ika (bercerai berai tetapi tetap satu) harus mandarah daging bagi segenap warga bangsa Indonesia jika mereka menghendaki negÂerinya hebat. Nasionalisme Indonesia sudah teruji keampuhannya di dalam merawat dan melindungi NKRI. Sudah beberapa kali NKRI diramal oleh para futurolog asing akan hancur berkeping-kping lalu jatuh ke dalam genggaman negara-negara adidaya, tetapi sekali lagi, berkat rahmat Allah Swt, ramalan-ramalan itu masih terus meleset.
Pluralitas dan heterogenitas masyarakat sesungÂguhnya adalah ketetapan Allah Swt (sunnatullah). Dalam salah satu ayat Al-Qur’an ditegaskan: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. SesungÂguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. (Q.S. A-Hujurat/49:13). Dalam ayat lain diteÂgaskan lagi: Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memakÂsa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? (Q.S. Yunus/10:99). KedÂua ayat tersebut mengisyaratkan pluralitas dan hetÂerogenitas masyarakat pasti akan selalu ada. PengÂgunaan kata
lau (seandainya) dalam ayat terakhir mengisyaratkan pemustahilan, artinya tidak akan pernah mungkin sebuah masyarakat menjadi utuh dalam satu kesatuan.