Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kasus Ahok, Polri Harus Fokus Pada Tiga Hal Ini

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ade-mulyana-1'>ADE MULYANA</a>
LAPORAN: ADE MULYANA
  • Senin, 07 November 2016, 15:10 WIB
rmol news logo . Kalau saja Polri konsisten dan disiplin pada tugasnya sebagai penegak hukum, dan tidak terseret arus kekuatan politik kekuasaan, persoalan penistaan agama Islam yang dituduhkan kepada Gubernur DKI nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tidak akan berlarut-larut sehingga memanaskan suhu politik nasional.
 
Demikian disampaikan Adhie M Massardi menjawab pertanyaan wartawan di Jakarta, Senin siang (7/11).

Menurut koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) ini, ada tiga hal penting yang harus menjadi fokus Bareskrim Polri dalam memroses Ahok. Pertama, sejumlah pengaduan yang dilayangkan anggota masyarakat dari berbagai daerah terkait penistaan agama sudah mendapat otorisasi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Pendapat dan sikap keagamaan MUI yang dikeluarkan pada 11 Oktober 2016, dan ditandatangani Ketua Umum DR KH Ma'ruf Amin serta Sekjen DR H anwar Abbas, MM, Mag, sebut Adhie, merupakan dokomen penting yang sebagai acuan adanya bukti penistaan agama. Sebab MUI, yang merupakan representasi ormas-ormas Islam di negeri ini, memiliki otoritas dan kredibilitas untuk menyatakan pandangan dan sikap terkait persoalan keagamaan, khususnya agama Islam di negeri ini.

Menurut Adhie, bukan tugas Polri mempersoalkan apakah sikap keagamaan MUI betul atau salah. Adalah tugas pengacara terdakwa di pengadilan untuk menguji pendapat MUI, sebagaimana sering dilakukan para pengacara terdakwa dalam kasus tindak pindana umum mempersoalkan hasil visum et repertum dalam proses autopsi.

Jadi sikap keagamaan MUI dalam proses hukum kedudukannya sama dengan hasil visum, misalnya, Labkrim Polri atau dokter yang ditunjuk dan memiliki kompetensi untuk itu. Jadi bukan tugas Polri untuk mengujinya kembali, melainkan sebagai bahan penyilidikan (terdakwa) lebih lanjut.
 
"Makanya, menjadi aneh ketika Polri, sebagaimana disampaikan Kapolri Tito Karnavian, malah sibuk mencari ahli bahasa dan ahli hukum pidana, yang seharusnya itu merupakan porsi pengacara terdakwa untuk di ranah pengadilan kelak," kata Adhie.

Dua hal penting lainnya yang harus dicermati Polri adalah tempat dan waktu terjadinya delik pidana penistaan agama oleh Ahok, yakni di Kepulauan Seribu (Pulau Pramuka), 27 September 2016.
 
Kehadiran Ahok di sana merupakan perjalanan dinas sebagai gubernur DKI. Maka Polri harus mengejar Ahok dengan pertanyaan: "Apa urusan Ahok bicara soal pemilu (pilih-memilih) dan menyebut-nyebut ayat Al Qur'an (al-Maidah) yang tidak dipahaminya karena bukan pemeluk Islam?"
 
"Pasti ini untuk kepentingan pribadi sebagai persiapan menjadi kandidat (petahana) dalam pilgub mendatang. Dan kalau ini bisa dibuktikan, maka Polri bisa mengejar Ahok dengan pertanyaan lebih telak, karena untuk semua itu, Ahok telah menggunakan fasilitas negara," kata Adhie.

"Jadi sebenarnya kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok adalah tindak pidana biasa yang bisa diselesaikan dengan super cepat. Menjadi lambat dan berlarut-larut karena ada persoalan besar di balik semua itu. Makanya, Polri harus lekas keluar dari pusaran politik kekuasaan, yang bisa menyesatkan upaya penegakkan hukum di negeri ini," katanya.

"Pesan saya, Polri harus kerja ekstra cepat, dan setelah itu bangsa Indonesia bisa segera move on dari persoalan-persoalan SARA yang membuat bangsa ini tidak bisa bergerak maju," pungkas jubir presiden era KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini.[dem]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA