Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Timnas Inggris

Antara London 1966, Dan Jakarta 1966

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/adhie-m-massardi-5'>ADHIE M. MASSARDI</a>
OLEH: ADHIE M. MASSARDI
  • Minggu, 11 Juli 2021, 06:54 WIB
Antara London 1966, Dan Jakarta 1966
Timnas Inggris saat menjuarai Piala Dunia 1966 di Stadion Wembley/Net
JALAN protokol kota London 1966 dipadati histeria masyarakat. Pada 1966 jalan protokol Jakarta juga dipadati histeria masyarakat. Kini, 55 tahun kemudian, kedua kota ini seperti hendak mengulang kejadian yang sama.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa
 
Sabtu, 30 Juli 1966, mulai pagi hingga petang, jalan-jalan protokol kota London, terutama yang tersambung ke kawasan Stadion Wembley yang keramat itu, dijejali para pecinta sepak bola. Di stadion berkapasitas lebih dari 90.000 itu digelar final Piala Dunia: tuan tumah Inggris vs Jerman (Barat).
 
Laga yang berlangsung dramatis dengan tambahan waktu 2 X 15 menit, karena sepanjang 90 menit skor imbang (2-2) itu dimenangi The Three Lions (4-2). Jalanan London pun kian dipadati warga Inggris. Striker Geoff Hurst yang mencetak hattrick menjadi bintang utama kemenangan.
 
Ketika negara secara resmi merayakan kemenangan tim asuhan Alf Ramsey itu dengan arak-arakan keliling London, laki-laki, perempuan, dan anak-anak memadati trotoar sepanjang jalan. Pesta jalanan pun berlangsung hingga dini hari. Semua pemain dan pelatih mendapat anugerah gelar “Sir” dari Buckingham, Kerajaan Britania Raya.
 
Sejarah kemudian mencatat, generasi sepak bola Angkatan 66 Inggris itu merupakan skuad terbaik untuk waktu yang panjang. Karena sejak itu The Three Lions tak pernah lagi menjuarai turnamen sepak bola besar, termasuk di tingkat antarnegara Eropa, UEFA European Championship atau Piala Eropa.
 
Seperti kisah PSSI yang pernah menahan imbang (0-0) Uni Sovyet (negara yang kini menjadi Rusia dan sejumlah negara Balkan) di Olimpiade Melbourne 1956, kemenangan atas Jerman (Barat) di final Piala Dunia 1966 menjadi cerita rakyat.
 
Nama-nama seperti Sir Alf Ramsey, Sir Geoff Hurst, Sir Robert “Bobby” Charlton menjadi legenda, persis seperti nama-nama pemain timnas Indonesia 1956 semisal Maulwi Saelan, Endang Witarsa, Ramlan, Ramang, dan pelatih asal Kroasia (Yugoslavia) Toni Pogacnik.
 
Legenda yang Terkubur
 
Berbeda dengan Indonesia, kisah sukses generasi sepak bola Angkatan 66 memenangi Piala Dunia itu belasan tahun kemudian menjadi ironi, kisah sedih persepakbolaan Inggris. Ada kecenderungan legenda itu sengaja dikubur di lapangan hijau. Nyaris tak ada lagi yang ingin mengingatnya.
 
Rakyat Inggris punya alasan mengubur kisah sukses 1966 itu. Maklum, meskipun sejarah sepak bola akarnya jauh ke Dinasti Han di China pada abad 2-3 Sebelum Masehi, dan beberapa abad kemudian (15-16) berkembang di Italia, tapi sejarah sepak bola modern lahir dan diinisiasi oleh orang Inggris.
 
Sepak bola menyebar ke antero dunia dibawa oleh pedagang dan tentara Kerajaan Imperialis Inggris Raya yang hobinya memang mengkoloni negara-negara lain di muka bumi.
 
Itulah sebabnya asosiasi sepak bola Inggris tidak pakai identitas nama negara, hanya “The FA” (Football Association). Sebab ketika dideklarasikan 158 tahun lalu, tepatnya 26 Oktober 1863, belum ada negara lain yang punya asosiasi sepak bola.
 
Sialnya, sejak sejumlah negara punya asosiasi dan membentuk organisasi internasional sepak bola (1904), bukan hanya namanya FIFA yang akronimnya bukan bahasa Inggris melainkan Perancis (Fédération Internationale de Football Association), tapi ketika turnamen 4 tahunan antarnegara di dunia digelar (1930) baru 36 tahun kemudian Inggris juara.
 
Sepak Bola Pulang Kampung
 
Meskipun puluhan tahun tanpa prestasi, tapi liga sepak bola profesional Inggris tetap yang terbaik. Para pemain profesional kelas dunia bertebaran di klub-klub yang berlaga di Liga Premier Inggris (EPL). Manchester United, Manchester City, Liverpool, Arsenal, dan Chelsea adalah klub-klub Inggris yang ditakuti di Eropa.
 
Pada 1996, ketika jadi tuan rumah Piala Eropa, legenda yang terkubur itu bangkit kembali. Selain dilatih Terry Venables, The Three Lions punya pemain berkarakter seperti Paul Gascoigne dan striker Alan Shearer.
 
Ketika itu, 1996, musisi The Lightning Seeds & Frank Skinner tak canggung bikin lagu penyemangat berjudul Three Lions. Ketika masih berlaga, lirik lagunya (It's coming home, It's coming home, football's coming home) didengungkan para pendukung timnas Inggris.
 
Tapi saat Jerman menghentikan laju Tiga Singa di babak semifinal lewat adu penalti, karena tendangan pamungkas yang dilakukan Gareth Southgate berhasil diblok kiper Jerman. Sejak itu nyanyian "football's coming home" pun tenggelam.
 
Kini, melihat sepak terjang The Three Lions di Piala Eropa beringas lagi, nyanyian "football's coming home" yang di-remix Atomic Kitten jelang semifinal Euro 2020 dengan judul Gareth Southgate 'Football's Coming Home Again mendengung lagi. Harapan juara setelah sepi prestasi selama 55 tahun muncul kembali.
 
Banyak orang percaya Gareth Southgate, yang memupus harapan pada Euro 1996 yang kini jadi pelatih timnas Inggris, akan menebus kesalahannya dengan mengalahkan Italia di final yang akan digelar pukul 02.00 dini hari Senin (12/7).
 
Antara London dan Jakarta
 
Kalau berhasil, berarti Gareth Southgate bisa menggiring “sepak bola pulang kampung”, mengembalikan suasana London seperti 1966, ketika The Three Lions memenangi turnamen akbar Piala Dunia. Dan jalan-jalan protokol London kembali dijejali histeria manusia bersuka-cita seperti 1966. Saat itu usia Gareth masih balita, baru 4 tahun.
 
Pada pertengahan 1966 itu, jalan-jalan di Jakarta juga dipenuhi pemuda, pelajar, dan mahasiswa yang penuh semangat dengan teriakan menuntut Presiden (Soekarno) turun, pembubaran PKI (Partai Komunis Indonesia) yang mendalangi peristiwa G30S/PKI, dan turunkan harga (Tritura).
 
Memang, pada pekan-pekan terakhir ini, suasana di Jakarta, di kampus-kampus, mulai terdengar teriakan mahasiswa yang meminta Presiden Joko Widodo mundur. Persis situasi Jakarta 1966.
 
Belum ada yang bisa memastikan, kalau misalnya London bisa mengulang kesuksesan generasi sepak bola Angkatan 66, apakah Jakarta juga bisa mengulang gerakan pemuda, pelajar, dan mahasiswa Angkatan 66?
 
Kata para pengamat sepak bola, bola itu bundar. Kata pengamat politik, politik itu seni menggapai kemungkinan. Tinggal kita lihat menggelindingnya ke mana itu bola sepak dan bola panas politik. rmol news logo article

Adhie M Massardi

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA