Menangkap Makna Simbolik Hijrah (20)

Dari ‘Alimin ke ‘Arifin

Selasa, 18 Oktober 2016, 09:27 WIB
Dari ‘Alimin ke ‘Arifin
Nasaruddin Umar/Net
KATA ‘alimin (bentuk jamak dari ‘alim) dan ‘arifin (bentuk jamak dari ‘arifin) dalam ba­hasa Indonesia sering diper­tukarkan. Seolah-olah kedua kata ini sinonim. Padahal, dalam perspektif tasawuf, keduanya amat berbeda. ‘Alimin dari akar kata ‘alima-ya’lam berarti mengetahui, mengerti. Memang arti dasarnya mirip dengan kata ‘arafa-ya’rifu berarti memahami, menge­tahui. Kalau sudah menjadi isim fa’il, ‘alim dan ‘ariif sudah mulai dibedakan. ‘Alim artinya orang yang mengetahui sesuatu dengan mengguna­kan kecerdasan logika. Sedangkan ‘arif berarti orang yang memahami sesuatu dengan meng­gunakan kecerdasan batin/spiritual.

Para ‘arifin sesungguhnya juga ‘alimin tetapi tidak semua orang ‘alimin itu ‘arifin. Ada seorang ilmuan, bahkan profesor tetapi penampilan dan akhlaknya seperti ‘kurang ajar’. Sedangkan ‘ari­fin, mungkin pendidikan formalnya tidak terlalu tinggi tetapi penampilan dan akhlaknya santun. Bahkan orang yang ‘arifin jalan pikirannya pun lurus, hatinya tulus dan bersih, tidak riya’ dan tidak kasar. Betul-betul memperhitungkan se­cara matang seluruh tindakannya.

Bagi banyak orang, menjadi ‘alimin tidak terlalu susah. Yang penting ada kesungguhan, punya biaya untuk studi, dan rajin belajar, in­sya Allah pasti dapat menjadi ‘alimin. Orang yang mengenyam pendidikan di bangku seko­lah atau bangku kuliah pasti dapat memperoleh ilmu (‘alimin) yang dibuktikan dengan ijazah. Namun untuk meraih kearifan tidak cukup han­ya dengan rajin belajar dan biaya yang cukup, dan memperoleh ijazah, tetapi lebih dari itu, harus senantiasa mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah Swt, menjauhi larangan dan menaati perintahnya. Itupun belum tentu dapat, makanya diperlukan kesabaran, kepas­rahan diri dan tawakkal yang kuat serta senan­tiasa berdoa agar mendapatkan berkah itu. Para ‘arifin mengerjakan apa yang mereka tahu dan mengetahui apa yang mereka kerjakan.

Kealiman dapat diperoleh melalui ijtihad den­gan mengerahkan energi akal pikiran, sedang­kan kearifan diperoleh melalui mujahadah den­gan mengerahkan energi batin. Pengetahuan yang diperoleh melalui metode yang pertama disebut ilmu (‘ilmun), sedangkan pengetahuan yang diperoleh melalui metodologi yang kedua disebut makrifat (ma’rifah). Idealnya seorang muslim atau muslimah, ilmu dan ma’rifah me­nyatu secara utuh di dalam dirinya, seperti dii­syaratkan dalam ayat yang pertama kali turun di dalam Al-Qur’an: Iqra’ bi ismi Rabbik (Be­calah dengan membaca nama Tuhanmu). Iqra’ simbol ilmu dan bismi Rabbik menjadi simbol ma’rifah.

Dalam Al-Qur’an, kemampuan yang dapat di­cakup oleh ilmu amat terbatas, seperti kata Al- Qur’an: Wama utitum minal ‘ilmi illa qalila (Kami tidak memberikan ilmu kepada kalian melaink­an hanya sedikit). Sedangkan yang biasa disepadankan dengan ma’rifah ialah hikmah yaitu sesuatu yang unlimited, tanpa batas, sebagai mana dikatakan dalam Al-Qur’an: Yu’til hikmah man yasya’, wa man yutal hikmah faqad utiya khairan katsir (Hikmah itu diberikan kepada sia­pa yang dikehendaki (oleh Allah), barang sia­pa yang mendapatkan hikmah itu, maka akan diberikan kebaikan yang lebih banyak).

Idealnya untuk seorang muslim, harus memi­liki kedua-duanya, ilmu dan ma’rifah. Keilmuan akan banyak membantu kita untuk memberi­kan kemudahan-kemudahan duniawi, sedang­kan ma’rifah akan banyak membantu kita untuk memberikan kemudahan ukhrawi. Ilmu banyak menolong kita untuk sukses menjadi khalifah di bumi, sedangkan ma’rifah banyak menolong kita untuk sukses menjadi hamba/’abid. Manu­sia paripurna atau insan kamil, ialah manusia yang menyandingkan keberhasilannya sebagai khalifah dan sebagai hamba.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA