Fenomena membeludaknya tenaga kerja China di Tanah Air ini sudah beberapa kali diklariÂfikasi pemerintah tak terkait dengan membengkaknya pinjaÂman proyek dan investasi dari negeri tirai bambu ke Indonesia. Namun, agaknya bantahan peÂmerintah itu bertolak belakang dengan banyaknya temuan di lapangan terkait sejumÂlah pekerja asing ilegal asal China yang mendominasi pengerjaan beberapa proyek di Indonesia.
Setidaknya tenaga kerja asal China itu bisa dengan mudah ditemukan dalam proyek pengerÂjaan misalkan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Celukan Bawang di Buleleng Bali, pembangunan pabrik semen di PT Cemindo Gemilang di Banten, penangÂkapan sejumlah pekerja ilegal asal Tiongkok di lokasi proyek Kereta Cepat, dan pengerjaan pembangunan smelter bauksit di Kalimantan Barat.
Selain masuk secara ilegal, dengan memakai jasa calo dan makelar di pemerintahan, buruh imigran China ini juga diduga menggunakan visa wisata untuk mengelabui keberadaan mereka di Indonesia.
Tak ayal, kekhawatiran meÂmuncak setelah mencuat kabar adanya target 10 juta wisatawan asal China. Kekhawatiran ternyata juga disuarakan oleh AM Fatwa, berikut penuturanÂnya kepada
Rakyat Merdeka;
Soal simpang siur informasi 10 juta buruh imigran China ke Indonesia, bagaimana parÂlemen menyikapinya?Kita harus betul-betul mewasÂpadai itu. Sebagai anggota parÂlemen, saya ingin mempertanÂyakan kepada Presiden tentang kebijakannya terhadap tenaga kerja asing. Khususnya tenaga kerja China yang membanjir ke Indonesia.
Kenapa perlu diwaspadai?Kita lihat orang-orang yang sesungguhnya secara politik itu berada pada PDI Perjuangan, yang sebetulnya merupakan partai utama pendukung Jokowi, itu sudah banyak yang memprihatinkan itu.
Mulai dari tulisan kritis dari Ginanjar Kartasasmita, kemuÂdian Kwik Kian Gie. Semua sangat-sangat prihatin terhadap membanjirnya tenaga kerja asing ke Indonesia khususnya dari China.
Anda memberi penekaÂnan khusus pada tenaga kerÂja China, apa Anda punya sentimen khusus pada etnis China? Saya tidak ada sentimen China dalam arti etnis ya. Sama sekali tidak. Bahkan saya waktu menjaÂbat wakil ketua DPR, saya orang pertama yang memimpin delegaÂsi parlemen Indonesia bertemu dengan parlemen China untuk mempererat kembali hubungan parlemen dua negara yang semÂpat terganggu karena negara kita pernah putus hubungan diplomaÂtik akibat peristiwa G30S/ PKI. Saya yang memimpin itu.
Jadi kenapa dong?Ya ini politik yang menabrak hak-hak kedaulatan rakyat. Misalnya kita lihat dalam soal klaim Laut China Selatan itu, ya Indonesia tidak boleh ditawar.
Kaitannya?Nah ini sebenarnya berkaitan dengan kebijakan kenapa menÂgizinkan terlalu banyak tenaga kerja asing, khususnya tenaga China ke Indonesia. Itu tentu menimbulkan pertanyaan beÂsar. Kenapa mengizinkan itu. Ada apa...
Menurut Anda, ada apa sebenarnya di balik semua itu?Ini semua pengaruh kaum pemodal.
Dasarnya apa asumsi Anda itu?Jadi, ada kecurigan publik bahwa ketika pemilu dulu itu, tangan-tangan kaum pemodal itu banyak sekali memberikan jasa. Kalau dia memodali para politisi yang sedang mempuÂnyai cita-cita untuk kekuasaan, tentu tidak ada makan siang yang gratis.
Lalu, antisipasi apa yang bisa dilakukan?Kita harus menggalang kesaÂdaran rakyat untuk tenaga kerja Indonesia tidak dikorbankan. Jadi ini harus kita waspadai.
Cuma itu saja?Para taipan, pemodal. Tidak peduli taipan itu ada kuning, ada hitam, ada coklat. Itu yang banÂyak nampaknya sekarang justru lebih berkuasa dari partai-partai berkuasa.
Siapa saja sebenarnya taipan-taipan itu?Saya kira tidak layak untuk menyebut. Tetapi, mengapa Ahok itu nekat terus masalah reÂklamasi. Dan mengapa Presiden Jokowi seperti double stanÂdard.
Maksudnya?Di satu sisi menteri-menÂterinya, sebagai pembantunya mestinya tidak boleh berbeda dengan Presiden.
Tapi dia (menteri) kan tidak setuju berdasarkan aturan. Tapi pada sisi lain memberi angin sejuk juga terhadap Ahok.
Lalu?Di sini kecurigaan publik, ada tarik-ulur akomodasi terhadap kepentingan pengembang. Ada kalangan penguasa yang beruÂtang budi pada kaum pemodal. Kita mesti mewaspadai pemodal yang tidak nasionalis. ***