Demikian disampaikan anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Charles Honoris. Charles menegaskan bahwa tugas utama Polri adalah sebagai penegak hukum dan TNI adalah terkait pertahanan negara, khususnya perang. Tugas utama militer di negara demokrasi adalah dididik, dilatih dan dibina untuk menghadapi persiapan untuk perang. Karenanya, pelibatan militer dalam OMSP termasuk salah satunya mengatasi terorisme sifatnya hanya perbantuan, sementara, dan didasarkan pada keputusan politik negara, serta sebagai pilihan terakhir setelah institusi sipil tidak lagi dapat mengatasinya.
Bagi Charles, keberhasilan prajurit TNI yang berhasil menembak mati pimpinan MIT Santoso dalam operasi gabungan TNI-Polri menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada persoalan atau masalah dalam UU yang ada sekarang. UU yang ada sudah bisa mengakomodir kerjasama dan koordinasi yang baik antara TNI dan Polri dalam hal pemberantasan terorisme.
"Indonesia menganut model penegakan hukum dalam hal penanganan kasus-kasus terorisme. Maka, peran dan keterlibatan TNI harus sesuai permintaan dan kebutuhan dari penegak hukum dan disahkan melalui Kepres," kata Charles dalam keterangan beberapa saat lalu (Jumat, 22/7).
Dengan demikian, sambung Charles, tidak perlu penambahan kewenangan TNI yang berlebihan di dalam revisi UU terorisme. Dan apalagi, jangan sampai nanti justru menimbulkan persoalan baru dalam penegakan hukum, khususnya pada tindakan pemberantasan terorisme. Jangan sampai malah terjadi tumpang tindih kebijakan dan UU yang justru memunculkan potensi semakin sulitnya koordinasi yang dilakukan oleh berbagai institusi. Bahkan, jangan sampai mengancam penegakan dan marwah undang-undang itu sendiri.
"Dalam kaitannya itu, penting meningkatkan serta menguatkan upaya pencegahan dan deteksi dini. Disinilah kita butuh BIN memainkan perannya secara optimal. BIN harus dapat melakukan koordinasi yang baik dengan penegak hukum agar penggalangan informasi yang sudah dilakukan oleh BIN tidak sia-sia," demikian Charles.
[ysa]
BERITA TERKAIT: