WAWANCARA

KH Said Aqil Siroj: Rekonsiliasi Sudah Berjalan, Eks PKI Sudah Shalat, Tahlilan & Masyarakat Sudah Terima

Rabu, 15 Juni 2016, 09:00 WIB
KH Said Aqil Siroj: Rekonsiliasi Sudah Berjalan, Eks PKI Sudah Shalat, Tahlilan & Masyarakat Sudah Terima
KH Said Aqil Siroj:net
rmol news logo Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bersama ormas Islam lainnya saat tragedi 1965 meletus tampil berhada­pan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tak ayal, mun­culnya isu kebangkitan PKI pasca digelarnya simposium nasional "Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejara­han" beberapa waktu lalu ikut direspons NU.
 
Simposium yang digagas Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Letjen (Purn) Agus Widjojo dan dis­okong pemerintah itu dinilai beberapa kalangan telah mem­bangkitkan PKI.

Untuk itu, PBNU hadir dalam acara simposium tandinganyang digagas sejumlah purnawirawan jenderal TNI. Apa sebenarnya alasan PBNU lebih memilih ikut menghadiri simposium tandingan ketimbang mengikuti simposium yang digagas pemerintah. Berikut penjelasan Ketua Umum PB NUKH Said Aqil Siroj saat ditemui Rakyat Merdeka di ruang ker­janya belum lama ini;

Sudut pandang Anda me­nyikapi polemik PKI belakan­gan ini?
PKI itu masa lalu. Jadi harus pakai kacamata masa lalu kalau mau menilai.

Maksudnya?
Waktu itu PKI sangat-sangat menghina dan melecehkan umat Islam. Sampai-sampai sering terjadi bentrok fisik. Ada pen­gajian NU diserang, di Blitar, di Banyuwangi. Saya melihat sendiri ya, di Ciwaringin itu kecama­tan saya. Ada tokoh PKI setelah diciduk, di rumahnya, konon ada sumur untuk mengubur siapa-siapa yang diculik. Termasuk ayah saya. Jadi ada itu.

Soal almarhum ayah Anda, bagaimana ceritanya?
Ya Ayah saya sering diganggu ketika dakwah. Misalkan, waktu itu belum ada listrik ya, ayah saya kan pakainya dokar ketika dakwahnya itu, nanti di tengah-tengah jalan ada batu sampai ku­danya jatuh. Sabotase seringlah. Pernah juga, sound system-nya diganggu. Kan waktu itu pakai diesel listrik kan, dieselnya di­ganggu. Itu contoh kecil ya.

Yang besar?

Contoh yang kelas besarnya, ya bagaimana PKI waktu itu di DPR, di Parlemen juga sering konflik seru dengan partai Islam. Kiai Wahab sering bertengkar seru dengan DN Aidit, mereka ingin sekali bahkan menghina, memaksakan kehendak agar Indonesia dijadikan sosialis.

Soal sumur tadi, itu benar kejadiannya begitu?
Benar apa nggak, sumurnya ada. Kalau sumurnya saya tahu. Di dapur. Bukan sumur air, tetapi lobang yang dalam, konon kalau berhasil menculik si A, si B, sekian orang dimasukin ke situ.

Selain itu?
Jadi telah terjadi konflik antara umat Islam dengan PKIterutama NU, sampai tahun 48 itu ratusan bahkan hampir ribuan kiai di­bunuh PKI.

Di Simposium Tragedi 65 yang digagas pemerintah, Anda melihat adanya pertan­da kebangkitan PKI?
Saya setuju dengan antisipasi bahwa kita tetap saja harus was­pada. Harus waspadalah dalam rangka menjaga keutuhan bangsa kita. Hak kita semua, wajib itu (menjaga). Walaupun kita belum melihat nyata ya. Tapi antisipasi gerakan-gerakan yang akan mer­ong-rong sudah harus kita jaga-jaga dari dini. Yang mengatakan PKI itu sudah bangkit saya tidak setuju. Belum. Hanya antisipasi.

Bagaimana dengan butir-butir rekomendasi simposium 65?

Rekonsiliasi sebenarnya sudah berjalan kalau di masyarakat. Sudah nggak ada lagi persoalan. Baik yang PKI mantan penjara (narapidana) maupun anaknya sudah shalat, dan lainnya. Saya pernah ceramah di rumahnya Pak Taufik Kiemas, di kompleks Widya Chandra, satu meja anaknya DN Aidit dan anaknya Kartosuwiryo. Saya yang ceramah, buka puasa bersama. Kumpul semua, yang kanan, yang kiri dikumpulkan (almarhum) Pak Taufik Kiemas.

Lantas apa urgensinya sehingga NU hanya lebih memilih ikut dalam simposium tandingan?
Kan begini, itu untuk mengan­tisipasi (anggapan) bahwa NU-lah yang paling berdosa dalam pembantaian terhadap PKI. Yang banyak mati tahun 65. Nah itu tugas Pak Marsudi (perwakilan NU di simposium tandingan) menjelaskan bahwa itu satu adalah masa lalu, kacamatanya ya kacamata masa lalu. Kondisi antar partai juga terjadi benturan keras, waktu itu yang namanya polisi nggak berdaya.

Kok bisa begitu?
Kalau PKI sudah bentrok dengan Banser, itu polisi sudah nggak ada itu. Polisi menjadi penengah nggak ada. Dibiarkan aja. Biasa itu. Di pawai misal­nya, ada pawai NU, ada pawai PKI, Marhein, seru. Saya masih kecil itu, kelas 5 SD. Tahun 64, Nasakom. Kita itu non­ton kok, polisi nonton, apapun yang terjadi nggak akan... Masa Orde Lama begitu. Jadi intinya, jika ingin menganalisis tragedi 48, 65, harus menghayati kon­disi waktu itu, jangan sekarang. Analisis masa lalu dengan kaca­mata sekarang nggak bisa.

Jalan keluar dari polemik ini menurut Anda?

Rekonsiliasi sudah berjalan. Nggak usah formal, nggak usah acara ini dibuka oleh bupati ini, nggak usah.

Kalau usulan permintaan maaf dari pemerintah?
Ndak usah. Sudah selesai kok. Sudah saling memaafkan di bawah. Coba lihat di Blitar se­latan, dulu banyak PKI di sana, sekarang sudah sholat sudah membaur dengan masyarakat. Masyarakat sudah menerima mereka. Mereka juga sudah ingin menyesuaikan diri den­gan masyarakat. Ya ngaji, ya tahlilan. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA