WAWANCARA

Muhammad Prasetyo: Dosis Putusan Hakim Praperadilan Berlebihan, Itu Nggak Ada Dasarnya

Selasa, 05 April 2016, 08:20 WIB
Muhammad Prasetyo: Dosis Putusan Hakim Praperadilan Berlebihan, Itu Nggak Ada Dasarnya
Muhammad Prasetyo:net
rmol news logo Pasca putusan Pengadilan Negeri Bengkulu yang mem­batalkan Surat Ketetapan Penghentian Perkara (SKP2) yang membelit Novel Baswedan, Jaksa Pras mewacana­kan akan menerbitkan deponering alias pengesampin­gan perkara yang membelit penyidik KPK tersebut.

Selain itu, Jaksa Pras juga memberikan perhatian khusus terhadap putusan hakim prapera­dilan yang mewanti-wanti me­merintahkan kepada Kejaksaan agar secepatnya kembali me­limpahkan berkas perkara Novel ke pengadilan.

Lantas seberapa serius Jaksa Pras merealisasikan kewenan­gannya untuk menerbitkan de­ponering atas kasus Novel, berikut ini penjelasannya kepada Rakyat Merdeka;

Tim Kuasa Hukum Novel Baswedan berharap betul Anda mengambil langkah deponering terhadap kliennya. Anda serius akan mengambil langkah hukum itu?
He-he-he... Nanti kita lihat seperti apa lah ya. Kita akan lihat.

Lalu bagaimana Anda me­nyikapi putusan prapera­dilan terhadap SKPP yang sudah Anda terbitkan sebe­lumnya?
Makanya kan justru saya katakan, praperadilan sudah dilayangkan oleh pihak lain, yang menyatakan dirinya kuasa hukum korban. Ternyata penga­dilan mengabulkan praperadilan. Kita pelajari dulu.

Sudah terima salinan putu­sannya?
Sampai sekarang putusannya belum kami terima. Kita pelajari dulu. Diktum (amar putusan) seperti apa, analisa yuridisnya seperti apa, melihat perkemban­gan hukumnya seperti apa. Nanti kita lihat.

Apa ada yang salah da­lam keputusan menerbitkan SKP2?
Kita berkeyakinan bahwa itu memang buktinya kurang. Didalami lagi, ternyata buktinya masih kurang.

Jadi?
Kita masih bisa mengambil sikap nanti apakah kita menga­jukan permintaan putusan akhir dari pengadilan tinggi atau apa.

Ada yang mengatakan, Jaksa bisa saja menuntut be­bas. Benar demikian?
Ya saya katakan, jaksa itu po­sisinya subjektif tapi pandangan­nya harus objektif kan. Subjektif dalam artian gini, jaksa itu me­wakili kepentingan masyarakat, kepentingan negara. Ya kan. Tapi ketika sudah di persidangan, di mana kita berbicara mengenai bukti-bukti kita harus berpandan­gan bahwa pandangan kita harus objektif. Bahwa benar ya benar, kalau salah ya salah, gitu.

Maksudnya?
Karena posisinya kan jaksa itu subjektif, sudut pandangnya harus objektif. Kalau pengacara, posisinya subjektif, sudut pandangnya subjektif. Kan gitu. Kalau hakim diharapkan, posis­inya objektif, sudut pandang­nya juga objektif. Kalau jaksa berpihak kepada kepentingan masyarakat. Tetapi ketika dih­adapkan dengan bukti-bukti dan fakta yang ada, sudut pandang­nya harus objektif. Nggak perlu subjektif.

Jika demikian, bagaima­na dengan konsistensi sikap jaksa?
Makanya kita lihat dulu ba­gaimana, diktumnya seperti apa, terus kemudian uraian yuridis­nya seperti apa, kita lihat nanti.

Dalam putusan hakim, diberitakan ada perintah me­nyerahkan kembali dakwaan dalam waktu tiga hari?
Itu nggak ada dasar hukum ha­kim memberikan batasan waktu seperti itu. Jadi kan kelihatan, menyolok betul. Kenapa, nggak ada itu. Suruh baca di hukum acara, ada nggak.

Bukankah memang ada pembatasan-pembatasan wak­tu seperti itu?
Yang dibatasi itu pra penuntu­tan, dibatasi 14 hari. Penahanan dibatasi 30 hari, 40 hari. Itu saja yang dibatasi. Pernyataan untuk upaya hukum dibatasi tujuh hari, kalau kasasi itu 14 hari. Itu ada. Tapi kalau pernyataan soal perkara yang itu nggak ada, sanksinya apa kalau itu... He-he-he.

Saya pikir semua pihak harus memahami itu. Dan juga harus memahami asas dominus litis (asas keaktifan hakim) yang bisa, yang punya kewenangan atau untuk melimpahkan perkara ke pengadilan itu hanya jaksa. Bukan pihak lain. Mungkin ini terlalu... Dosisnya terlalu ber­lebih lah... He-he-he. Nggak ada dasarnya lah itu. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA