TAULITIK

Antara Jihad Dan Qital

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Senin, 25 Januari 2016, 08:10 WIB
Antara Jihad Dan Qital
nasaruddin umar:net
JIHAD dalam makna semantik telah dibahas dalam artikel terdahulu. Dari akar kata jahada membentuk tiga kata kunci, yakni jihad (perjuangan dengan fisik), ijtihad (perjuangan dengan nalar), dan mujahadah (per­juangan dengan kekuatan rohani). Ketiga kata terse­but mengantarkan manusia untuk meraih ke­muliaan. Jihad yang sebenarnya tidak pernah terpisah dengan ijtihad dan mujahadah. Jihad harus merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan kekuatan ijtihad dan mujahadah. Jihad tanpa perhitungan matang, apalagi mendatang­kan mudarat lebih besar kepada orang yang tak berdosa, tidak tepat disebut jihad. Boleh jadi itu tindakan nekat atau sia-sia yang dilegitimasi den­gan dalil agama. Bahkan itu mungkin tindakan ke­onaran (al-fasad).

Qital lebih sempit maknanya ketimbang jihad. Qital secara harfiah berasal dari akar qatala be­rarti membunuh. Penggunaan kata qital dalam Al-Qur'an lebih banyak berarti peperangan dalam arti fisik, ketika umat Islam diserang atau terde­sak, mereka diharuskan untuk mempertahankan diri dengan cara qital, berperang semaksimal dan seprofesional mungkin. Contoh ayat qital ialah: Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang da­lam bulan itu adalah dosa besar; tetapi mengha­langi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil haram dan mengu­sir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (do­sanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih be­sar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (ke­pada kekafiran), seandainya mereka sanggup." (Q.S. al-Baqarah/2:217).

Yang lebih banyak digunakan di dalam Al-Qur'an dan hadis ialah jihad. Jihad bertujuan untuk mempertahankan kehidupan manusia yang bermartabat, bukannya menyengsarakan apalagi menyebabkan kematian orang-orang yang tak berdosa. Sinerji antara jihad, ijtihad, dan mujahadah inilah yang selalu dicontoh­kan Rasulullah. Jihad Rasulullah selau berhasil dengan mengesankan. Di medan perang dan di medan perundingan ia selalu menang, dis­egani, dan diperhitungkan kawan dan lawan.

Jihad Rasulullah lebih mengedepankan pendekatan soft of power. Ia lebih banyak menyelesaikan persoalan dan tantangan dengan pendekatan non-militeristik. Ia selalu mengedepankan cara-cara damai dan manusiawi. Bentrok fisik selalu menjadi allternatif terakhir. Itupun sebatas pembelaan diri. Kalau terpaksa harus melalui perang fisik terbuka, Nabi selalu mengingatkan pasukannya agar tidak melaku­kan tiga hal, yaitu tidak membunuh anak-anak dan perempuan, tidak merusak tanaman, dan ti­dak menghacurkan rumah-rumah ibadah musuh. Kalau musuh sudah angkat tangan, apalagi ka­lau sudah bersyahadat, tidak boleh lagi digang­gu. Rasulullah pernah marah kepada panglima angkatan perangnya, Usamah, lantaran Usam­ah membunuh seorang musuh yang terperang­kap lalu mengucapkan syahadat. Nabi bersabda: "Kita hanya menghukum apa yang tampak dan Allah yang menghukum apa yang tak tampak (akidah)". Akhlaqul karimah tidak pernah ia ting­galkan sekalipun di medan perang.

Kemuliaan jihad tak perlu diragukan. Seseorang yang gugur di medan jihad akan lang­sung masuk syurga, bahkan kalau terpaksa, "tidak perlu dikafani, cukup dengan pakaian yang melekat di badannya, karena bagaima­napun yang bersangkutan akan langsung ma­suk syurga", kata Rasulullah Saw. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA