Ada kecenderungan provokator menjadi sebuah "profesi" baru yang banyak ditekuni oleh kelÂompok-kelompok tertentu di dalam melayani peÂsan sponsor. "Lembaga jasa" baru ini biasanya memiliki anggota yang dapat digerakkan dengan mudah dan cepat. Hanya dengan membayar biaÂya tertentu maka kekuatan massanya bisa diterÂjunkan ke sebuah medan juang untuk melakukan tindakan protes terhadap seseorang, kelompok, instansi, dan kebijakan. Eskalasi massa yang diliÂbatkan tergantung analisis di medan. Jika sasaÂran membutuhkan massa yang besar maka merÂeka bisa dengan mudah menurunkan massa yang besar. Tentu saja diperlukan biaya yang tidak sedikit untuk menjalankan gerakannya. Mereka membutuhkan sejumlah peralatan misalÂnya sound system yang berkekuatan besar yang mampu membakar dan menggetarkan semangat massa, mengirim pesan besar terhadap sasaran yang dituju, dan tentu saja untuk biaya transporÂtasi, konsumsi, dan uang saku massa. Selain itu juga untuk menyiapkan brosur, pamflet, spanduk, seragam kaos, dan atribut-atribut lainnya.
Kita tidak bisa mengatakan bahwa provokaÂtor selamanya berkonotasi negatif. Jika yang diÂmaksud dengan provokator ialah orang yang memiliki keahlian untuk membakar emosi
pubÂlic, maka mungkin dalam kesempatan lain sang provokator itu diperlukan untuk memprovokasi orang di dalam menyelesaikan tugas-tugas soÂcial, seperti pembangunan masjid yang tidak kunjung selesai, lalu dihadirkan seseorang yang mampu memprovokasi orang, yakni menggugah emosi dan spiritualitas orang unÂtuk menyumbang menyelesaikan pembanguÂnan masjid tersebut. Akhirnya dengan keheÂbatan yang dimiliki berhasil dana itu terhimpun dan masjid pun dilanjutkan pembangunannya. Contoh lain, provokator seperti ini diperlukan untuk menurunkan rezim dhalim, yang inkonstiÂtusional. Namun, secara umum istilah provokaÂtor dalam pengertian popular lebih cenderung berkonotasi negatif.
Provokator sebagai salahsatu instrument
ReÂligious-Hate Speech (RHS) terjadi manakala agama dijadikan dalil oleh sang provokator di daÂlam memperkuat alasan dan logika perjuanganÂnya. Sebagai contoh, sebuah kelompok menghaÂsut kelompok lain dengan menggunakan bahasa agama, seperti gerakan untuk menghilangkan kompleks perjudian yang di dalamanya juga ada pelacuran, dan minuman beralkohol. Diperparah lagi jika kehadiran kompleks tersebut bisa meraÂcuni perkembangan generasi muda ke depan. Setelah sekian lama ditempuh pendekatan huÂkum, tetapi ternyata tidak kunjung ada perubahÂan, apalagi jika ditengarai kompleks tersebut di-
backing oleh oknum tertentu, maka situasi seperti ini berpotensi melahirkan provokator. ***