RELIGIOUS-HATE SPEECH (12)

Modus Operandi RHS: (7) Provokator

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Kamis, 14 Januari 2016, 08:43 WIB
Modus Operandi RHS: (7) Provokator
nasaruddin umar:net
ISTILAH provokasi semakin popular di dalam masyarakat. Provokasi (Ingg: Provoke) berarti suatu tin­dakan yang menyebabkan lahirnya suasana kebencian terhadap seseorang atau kelompok tertentu di dalam masyarakat. Pelaku tinda­kan provokosi bisa disebut provokator. Seorang provokator biasanya memi­liki keahlian tersendiri untuk memancing emosi massa untuk melakukan protes, penyerangan, atau kebencian secara massif terhadap ses­eorang, kelompok, pemerintah, kebijakan pe­merintah, dan lain-lain. Provokator tampil se­bagai sebuah istilah baru menggantikan istilah lain yang pernah popular seperti agitator, peng­hasut, tukang protes, demonstran, dan dalam kualifikasi tertentu disebut pemberontak.

Ada kecenderungan provokator menjadi sebuah "profesi" baru yang banyak ditekuni oleh kel­ompok-kelompok tertentu di dalam melayani pe­san sponsor. "Lembaga jasa" baru ini biasanya memiliki anggota yang dapat digerakkan dengan mudah dan cepat. Hanya dengan membayar bia­ya tertentu maka kekuatan massanya bisa diter­junkan ke sebuah medan juang untuk melakukan tindakan protes terhadap seseorang, kelompok, instansi, dan kebijakan. Eskalasi massa yang dili­batkan tergantung analisis di medan. Jika sasa­ran membutuhkan massa yang besar maka mer­eka bisa dengan mudah menurunkan massa yang besar. Tentu saja diperlukan biaya yang tidak sedikit untuk menjalankan gerakannya. Mereka membutuhkan sejumlah peralatan misal­nya sound system yang berkekuatan besar yang mampu membakar dan menggetarkan semangat massa, mengirim pesan besar terhadap sasaran yang dituju, dan tentu saja untuk biaya transpor­tasi, konsumsi, dan uang saku massa. Selain itu juga untuk menyiapkan brosur, pamflet, spanduk, seragam kaos, dan atribut-atribut lainnya.

Kita tidak bisa mengatakan bahwa provoka­tor selamanya berkonotasi negatif. Jika yang di­maksud dengan provokator ialah orang yang memiliki keahlian untuk membakar emosi pub­lic, maka mungkin dalam kesempatan lain sang provokator itu diperlukan untuk memprovokasi orang di dalam menyelesaikan tugas-tugas so­cial, seperti pembangunan masjid yang tidak kunjung selesai, lalu dihadirkan seseorang yang mampu memprovokasi orang, yakni menggugah emosi dan spiritualitas orang un­tuk menyumbang menyelesaikan pembangu­nan masjid tersebut. Akhirnya dengan kehe­batan yang dimiliki berhasil dana itu terhimpun dan masjid pun dilanjutkan pembangunannya. Contoh lain, provokator seperti ini diperlukan untuk menurunkan rezim dhalim, yang inkonsti­tusional. Namun, secara umum istilah provoka­tor dalam pengertian popular lebih cenderung berkonotasi negatif.

Provokator sebagai salahsatu instrument Re­ligious-Hate Speech (RHS) terjadi manakala agama dijadikan dalil oleh sang provokator di da­lam memperkuat alasan dan logika perjuangan­nya. Sebagai contoh, sebuah kelompok mengha­sut kelompok lain dengan menggunakan bahasa agama, seperti gerakan untuk menghilangkan kompleks perjudian yang di dalamanya juga ada pelacuran, dan minuman beralkohol. Diperparah lagi jika kehadiran kompleks tersebut bisa mera­cuni perkembangan generasi muda ke depan. Setelah sekian lama ditempuh pendekatan hu­kum, tetapi ternyata tidak kunjung ada perubah­an, apalagi jika ditengarai kompleks tersebut di-backing oleh oknum tertentu, maka situasi seperti ini berpotensi melahirkan provokator. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA