Penistaan terhadap agama adalah wujud nyata dari
Religious-Hate Speech (RHS). KeÂtika kelompok Jamaat Ahmadiah (JA) yang diklaim menistakan agama Islam karena diniÂlai mempromosikan ada nabi setelah Nabi MuÂhammad, yaitu Mirza Gulam Ahmad, dan ada Kitab Suci setelah Al-Qur'an yaitu "Kitab TadzÂkirah". Pada saat itu serentak menuai banyak reaksi keras dari warga mainstream muslim di berbagai baerah, karena mereka merasa agaÂmanya dinistakan. Walaupun JAIsudah memÂberikan penjelasan bahwa predikat "Nabi" kepaÂda Mirza Gulam Ahmad tentu bukan Nabi yang membawa syari'ah (nubuwwah al-syari'ah), yang seleverl dengan Nabi Muhammad Saw, dan kitab Tadzkirah diakui tidak selevel denÂgan Kitab Suci Al-Qur'an, tetapi Majlis Ulama Indonesia (MUI) dan sejumlah ormas Islam lain tetap menganggapnya sebagai aliran sesat dan menyesatkan. Sejumlah Kepala Daerah setingÂkat Gubernur dan Kbupaten dan Kota menutup berbagai aktifitas JAI di daerahnya.
Selanjutnya keresahan dan kerusuhan terus terjadi. Akhirnya pemerintah turun tangan denÂga menerbitkan SKB tiga menteri pada tanggal 9 Juni 2008 yaitu Menteri Agama, Menteri DaÂlam Negeri, dan Jaksa Agung. Inti SKB itu meÂminta semua pihak untuk menaati hukum yang berlaku. Masyarakat diminta tenang dan menyÂerahkan sepenuhnya persoalan JAI kepada peÂmerintah dalam hal ini aparat hukum. SedanÂgkan JAI diminta mematuhi aturan yang telah disepakati bersama antara pemerintah, JAI, dan tokoh-tokoh masyarakat.
Contoh lain dari RHS ialah kasus pelarangan peredaran Majalah Newsweek dalam tahun 2003 oleh MUI karena di salahsatu pemberiÂtaan dalam edisi itu menampilkan artikel yang membahas tesis Christoph Luxenberg yang menyimpulkan Al-Qur'an pada mulanya ditulis dalam bahasa Aramaik, bukannya bahasa Arab seperti yang diasumsikan umat Islam.
Jika sebuah gerakan terlanjur dianggap seÂbagai penistaan atau penodaan agama, maka sulit bagi gerakan itu mengembangkan geraÂkannya, karena sudah terlanjur dicurigai umat. Itulah hukum sosial kita. Terkadang ada sebuah data yang tidak valid secara akademik tetapi sudah terlanjur dianggap valid oleh opini pubÂlik. Sebaliknya ada data yang valid secara akaÂdemik tetapi tidak diakui valid oleh
opini public. Pada akhirnya
opini public seringkali menjadi hakim paling tinggi, Kita sering menyaksikan pemandangan, desakan
opini public mengalahÂkan legalitas hukum formal.
Opini public serÂingkali memenangkan sebuah pertarungan waÂcana yang bergulir di dalam masyarakat. Tentu saja budaya semacam ini tidak menguntungkan untuk tumbuhnya sebuah masyarakat madani (
civi sosciety). Masyarakat ideal (khaira umÂmah) di mana setiap orang harus mengukur keÂbenaran berdasarkan azas kebenaran obyekÂtif, bukannya di atas kebenaran subyektif yang dikemas dalam bentuk
opini public oleh pemilik media. ***