RELIGIOUS-HATE SPEECH (10)

Modus Operandi RHS: (5) Penistaan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Selasa, 12 Januari 2016, 09:09 WIB
Modus Operandi RHS: (5) Penistaan
nasaruddin umar:net
PENISTAAN adalah suatu istilah yang selalu berkono­tasi negatif. Penistaan ada­lah suatu tindakan provokatif yang dilancarkan seseorang atau golongan kepada orang atau kelompok lain yang bertujuan untuk memojok­kan atau menghina yang bersangkutan. Obyek pe­nistaan bisa berupa etnik, suku, atau daerah, warna kulit, gender, kewarganegaran, agama, dan lain-lain. Eskalasi penistaan bisa lebih ber­bahaya jika disangkut-pautkan dengan agama atau aliran keagamaan.

Penistaan terhadap agama adalah wujud nyata dari Religious-Hate Speech (RHS). Ke­tika kelompok Jamaat Ahmadiah (JA) yang diklaim menistakan agama Islam karena dini­lai mempromosikan ada nabi setelah Nabi Mu­hammad, yaitu Mirza Gulam Ahmad, dan ada Kitab Suci setelah Al-Qur'an yaitu "Kitab Tadz­kirah". Pada saat itu serentak menuai banyak reaksi keras dari warga mainstream muslim di berbagai baerah, karena mereka merasa aga­manya dinistakan. Walaupun JAIsudah mem­berikan penjelasan bahwa predikat "Nabi" kepa­da Mirza Gulam Ahmad tentu bukan Nabi yang membawa syari'ah (nubuwwah al-syari'ah), yang seleverl dengan Nabi Muhammad Saw, dan kitab Tadzkirah diakui tidak selevel den­gan Kitab Suci Al-Qur'an, tetapi Majlis Ulama Indonesia (MUI) dan sejumlah ormas Islam lain tetap menganggapnya sebagai aliran sesat dan menyesatkan. Sejumlah Kepala Daerah seting­kat Gubernur dan Kbupaten dan Kota menutup berbagai aktifitas JAI di daerahnya.

Selanjutnya keresahan dan kerusuhan terus terjadi. Akhirnya pemerintah turun tangan den­ga menerbitkan SKB tiga menteri pada tanggal 9 Juni 2008 yaitu Menteri Agama, Menteri Da­lam Negeri, dan Jaksa Agung. Inti SKB itu me­minta semua pihak untuk menaati hukum yang berlaku. Masyarakat diminta tenang dan meny­erahkan sepenuhnya persoalan JAI kepada pe­merintah dalam hal ini aparat hukum. Sedan­gkan JAI diminta mematuhi aturan yang telah disepakati bersama antara pemerintah, JAI, dan tokoh-tokoh masyarakat.

Contoh lain dari RHS ialah kasus pelarangan peredaran Majalah Newsweek dalam tahun 2003 oleh MUI karena di salahsatu pemberi­taan dalam edisi itu menampilkan artikel yang membahas tesis Christoph Luxenberg yang menyimpulkan Al-Qur'an pada mulanya ditulis dalam bahasa Aramaik, bukannya bahasa Arab seperti yang diasumsikan umat Islam.

Jika sebuah gerakan terlanjur dianggap se­bagai penistaan atau penodaan agama, maka sulit bagi gerakan itu mengembangkan gera­kannya, karena sudah terlanjur dicurigai umat. Itulah hukum sosial kita. Terkadang ada sebuah data yang tidak valid secara akademik tetapi sudah terlanjur dianggap valid oleh opini pub­lik. Sebaliknya ada data yang valid secara aka­demik tetapi tidak diakui valid oleh opini public. Pada akhirnya opini public seringkali menjadi hakim paling tinggi, Kita sering menyaksikan pemandangan, desakan opini public mengalah­kan legalitas hukum formal. Opini public ser­ingkali memenangkan sebuah pertarungan wa­cana yang bergulir di dalam masyarakat. Tentu saja budaya semacam ini tidak menguntungkan untuk tumbuhnya sebuah masyarakat madani (civi sosciety). Masyarakat ideal (khaira um­mah) di mana setiap orang harus mengukur ke­benaran berdasarkan azas kebenaran obyek­tif, bukannya di atas kebenaran subyektif yang dikemas dalam bentuk opini public oleh pemilik media. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA