Persoalan RHS yang perlu diselesaikan ialah definisi RHS itu sendiri. Kapan dan bagaimana suatu tindakan bisa disebut RHS? Apa kriteÂrianya? Siapa yang berhak menetapkan kriteÂria itu? Apakah pemerintah, pemimpin agama, atau subyektifitas korban? Sementara UU yang mengatur RHS ini secara khusus belum ada.
Jika RHS itu sudah betul-betul hadir di daÂlam masyarakat, langkah-langkah apa yang seÂharusnya dilakukan pemerintah dan pemimpin umat? Mestikah harus dengan pendekatan huÂkum atau pendekatan sosial budaya, atau ada alternatif lain yang lebih tepat? Tentu yang terÂbaik ialah bagaimana menyelesaikan masalah RHS ini tanpa menimbulkan masalah lain?
Yang tidak kalah pentingnya ialah analisis mendaÂlam di sekitar RHS. Mengapa di dalam masyarakat kita begitu gampang terbakar dengan isu-isu agama? Apakah ada yang salah di dalam system, materi, dan metode pendidikan agama kita selaÂma ini? Kenapa ada kecenderungan masyarakat kita semakin "fanatik" di dalam menjalankan keaÂgamaannya? Mengapa begitu gampang anggota masyarakat mendukung gerakan-gerakan keaÂgamaan yang cenderung keras? Termasuk mengaÂpa begitu mudah kelompok radikal mengumpulkan dana untuk sebuah gerakan keagamaan, semenÂtara begitu sulit mengumpulkan dana-dana sosial yang lebih mencerahkan?
Persepsi RHS yang muncul di dalam masyarakat perlu juga diukur. Bagaimana persepsi masyarakat kita tentang RHS? Kelompok-kelomÂpok masyarakat mana saja yang rentan terpancÂing dengan isu RHS? Bagaimana pandangan tokoh-tokoh masyarakat, khususnya pemimpin umat terhadap RHS? Benarkah anggapan orang yang mengatakan ada kecenderungan tokoh-toÂkoh umat memberikan dukungan terhadap gerÂakan RHS, setidaknya mereka tidak melakukan kecaman (
speak out) terhadap gerakan RHS?
Ormas-ormas social keagamaan kelihatannya seperti terpecah melihat kenyataan ini. Ketika KapolÂri mengeluarkan Surat Edaran Nomor: SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (
Hate Speech), ada ormas-ormas keagamaan dan tokoh-tokoh umat langsung mendukung, tetapi ada juga ormas keagamaan dan tokoh-tokoh umat lain yang bereaksi tegas tidak setuju. Ormas-ormas keagamaan lain lebih memilih diam sambil bersikap wait and see. Ketiga sikap ini tentu masing-masing memiliki alasan dan dasar logikanya masing-masing. Katrena itu, penulis bersama teman-teman di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bekerjasama dengan The Nusa Institut sedang merampingkan penelitian lapangan tentang Religious-Hate Speech atau Ujaran Kebencian Atas Dasar Agama Di Indonesia. ***