Religious-Hate Speech (4)

Dampak Sosial Religious-Hate Speech

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Rabu, 06 Januari 2016, 08:50 WIB
Dampak Sosial Religious-Hate Speech
nasaruddin umar:net
RELIGIOUS-HATE SPEECH (RHS) tidak bisa dianggap enteng, misalnya hanya menganggap sebagai 'bun­ga-bunga demokrasi', atau membiarkan dengan alasan 'sebentar lagi akan berhen­ti sendiri. RHS berpotensi menimbulkan persoalan ru­mit di dalam masyarakat jika tidak segera dilakukan pendekatan. Persoalannya adalah RHS bukan sekedar social hate speech seperti persoalan etnik, kedaerahan, atau kewarganegaraan, tetapi sesuatu yang sangat mendasar di dalam alam bawah sadar seseorang. Jika telanjur menjadi konflik keagamaan maka prinsip yang bisa membakar massa ialah: 'isy kariman au mut syahidan (hidup mulia atau mati syahid). Jika motivasi sya­hid bekerja di dalam alam bawah seseorang tidak ada lagi perhitungan korban. Bahkan mati pun bisa menjadi pilihan disengaja.

Persoalan RHS yang perlu diselesaikan ialah definisi RHS itu sendiri. Kapan dan bagaimana suatu tindakan bisa disebut RHS? Apa krite­rianya? Siapa yang berhak menetapkan krite­ria itu? Apakah pemerintah, pemimpin agama, atau subyektifitas korban? Sementara UU yang mengatur RHS ini secara khusus belum ada.

Jika RHS itu sudah betul-betul hadir di da­lam masyarakat, langkah-langkah apa yang se­harusnya dilakukan pemerintah dan pemimpin umat? Mestikah harus dengan pendekatan hu­kum atau pendekatan sosial budaya, atau ada alternatif lain yang lebih tepat? Tentu yang ter­baik ialah bagaimana menyelesaikan masalah RHS ini tanpa menimbulkan masalah lain?

Yang tidak kalah pentingnya ialah analisis menda­lam di sekitar RHS. Mengapa di dalam masyarakat kita begitu gampang terbakar dengan isu-isu agama? Apakah ada yang salah di dalam system, materi, dan metode pendidikan agama kita sela­ma ini? Kenapa ada kecenderungan masyarakat kita semakin "fanatik" di dalam menjalankan kea­gamaannya? Mengapa begitu gampang anggota masyarakat mendukung gerakan-gerakan kea­gamaan yang cenderung keras? Termasuk menga­pa begitu mudah kelompok radikal mengumpulkan dana untuk sebuah gerakan keagamaan, semen­tara begitu sulit mengumpulkan dana-dana sosial yang lebih mencerahkan?

Persepsi RHS yang muncul di dalam masyarakat perlu juga diukur. Bagaimana persepsi masyarakat kita tentang RHS? Kelompok-kelom­pok masyarakat mana saja yang rentan terpanc­ing dengan isu RHS? Bagaimana pandangan tokoh-tokoh masyarakat, khususnya pemimpin umat terhadap RHS? Benarkah anggapan orang yang mengatakan ada kecenderungan tokoh-to­koh umat memberikan dukungan terhadap ger­akan RHS, setidaknya mereka tidak melakukan kecaman (speak out) terhadap gerakan RHS?

Ormas-ormas social keagamaan kelihatannya seperti terpecah melihat kenyataan ini. Ketika Kapol­ri mengeluarkan Surat Edaran Nomor: SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech), ada ormas-ormas keagamaan dan tokoh-tokoh umat langsung mendukung, tetapi ada juga ormas keagamaan dan tokoh-tokoh umat lain yang bereaksi tegas tidak setuju. Ormas-ormas keagamaan lain lebih memilih diam sambil bersikap wait and see. Ketiga sikap ini tentu masing-masing memiliki alasan dan dasar logikanya masing-masing. Katrena itu, penulis bersama teman-teman di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bekerjasama dengan The Nusa Institut sedang merampingkan penelitian lapangan tentang Religious-Hate Speech atau Ujaran Kebencian Atas Dasar Agama Di Indonesia. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA