WAWANCARA

Hafidh Abbas: Persoalan Teroris Tak Juga Rampung, Densus Seperti Lembaga Pencabut Nyawa

Senin, 04 Januari 2016, 09:42 WIB
Hafidh Abbas: Persoalan Teroris Tak Juga Rampung, Densus Seperti Lembaga Pencabut Nyawa
Hafidh Abbas:net
rmol news logo Memasuki tahun 2016, pemerintah diminta meninggal­kan tradisi lama yang tidak efektif dan mengorbankan banyak nyawa, khususnya yang tak bersalah dan salah tangkap. Harus ada pendekatan baru yang lebih manu­siawi.

Kepada Rakyat Merdeka, kemarin Komisioner Komnas HAM, Hafidh Abbas men­gaku miris dengan pendekatan yang dipakai Densus 88 dalam menumpas jaringan teroris. Kehadiran Detasemen Khusus yang telah dibentuk puluhan tahun silam itu dinilai tidak berhasil menyelesaikan induk persoalan.

"Kalau ekor masalah ini saja yang diatasi, itu nggak ada ha­bisnya," ujarnya. Simak wawan­cara lengkap berikut ini:

Jadi menurut Anda, apa induk persoalan ini?
Induk permasalahannya itu sebenarnya ada pada ketidakadi­lan, karena mereka ini diisolasi, dikucilkan, segala macam, ini sebenarnya akar dari permasala­han ini.

Konkretnya?
Misalnya distribusi tanah. Itu 74 persen tanah di seluruh Indonesia itu hanya dikuasai 0,2 persen penduduk. Itu kan satu hal yang sangat fatal. Jadi mereka ini kan ingin juga hidup baik, sejahtera, anaknya bisa sekolah, tapi kok tidak ada masa depan. Meskipun ditembak mati semuanya, persoalan ini tidak akan selesai. Jadi saya kira ada baiknya kita lebih jernih melihat suatu persoalan, jangan selalu dikaitkan dengan agama.

Artinya, faktor ekonomi lebih menentukan?
Ya memang, anak-anak orang miskin ini punya tanah, anaknya bisa sekolah, punya pekerjaan, saya kira nggak akan macam-macam lah ya.

Lalu, apa ada cara lain yang harus dilakukan di tahun 2016 ini?
Memang harus ada upaya yang sungguh-sungguh lah. Bukan lagi mengatasi ekor masalahnya, tapi induk dari persoalan ini harus diatasi oleh pemerintah. Kalau ekor masalah ini saja yang diatasi, itu nggak ada habisnya.

Contohnya seperti apa?
Kita lihat kasus di Poso sudah puluhan tahun, belum selesai-selesai. Ada lagi ditangkap kemarin di Solo. Densus bilang lagi itu salah tangkap. Sudah lebih seratus orang dibantai di sana, tapi kok belum selesai-selesai. Seakan-akan Densus ini lembaga pencabut jiwa, pencabut nyawa. Itu kan, apa benar seperti itu.

Anda merasa ada yang jang­gal dari kejadian ini?
Kenapa rutin setiap akhir tahun muncul, selalu berulang modusnya seperti itu. Apa me­mang pendekatannya seperti itu harus dipertahankan. Sudah puluhan tahun.

Harusnya?
Mestinya ada pendekatan baru. Jangan terus-terus itu yang dilakukan. Itu yang sulit saya pahami. Harus ada keberanian mencari induk penyelesaian per­masalahannya.

Sepanjang 2015, apa cata­tan anda terkait Hak Asasi Manusia?
Kelihatannya pelanggaran HAM masih surplus ya, masih banyak. Kita lihat pada masalah-masalah yang mestinya sudah selesai, seperti konflik antar agama, kasus Tolikara, konf­lik TNI di Paniai itu juga be­lum selesai, kemarin di Aceh Singkil belum selesai, warga Ahmadiyah juga masih terus di sana-sini. Banyak hal-hal yang mestinya sudah selesai dan seringkali terjadi harusnya bisa diantisipasi oleh semua pihak. Belum banyak berubah ya, masih seperti itu.

Kok sampai tidak ada kema­juan?
Kelihatannya belum ada yang selesai itu. Mulai dari kasus HAM berat, tahun 2004 sudah direkomendasi untuk kasus orang hilang, kasus 65 belum selesai, puluhan tahun itu ter­belenggu terus untuk menyele­saikannya. Harus ada solusi lah, Pemerintah harus lebih berani menyelesaikan.

Kalau melihat itikad pemer­intah bagaimana?
Ya kemarin waktu hari HAM, 10 Desember kami bersama-sama Presiden di istana negara, kita semua berani mencari solusi dari permasalahan HAM. Ya mudah-mudahan penuturan be­liau itu bisa beliau laksanakan. Dan beliau juga memberi pene­kanan bahwa rata-rata di setiap kabupaten, provinsi itu ada 150 kasus tanah yang dihadapi setiap tahun. Karena persoalannya itu tadi, ada orang yang menguasai sekian ratus ribu hektar, semen­tara orang untuk 100 meter saja tidak mampu diurus, ada trans­migran yang puluhan tahun tidak punya tanah, karena dikasih ke pengusaha sawit. Jadi harus ada keberanian. Saya lihat Presiden ada keinginannya untuk mencari solusi ya. Kita tunggu.

Pemerintah harusnya memihak pada masyarakat kecil bukan perusahaan atau pemodal?
Ya ya. Harus ada keberanian untuk memihak kepada yang lemah. Jangan kita biarkan pros­es demokrasi ini tunduk pada hukum Darwin. Yang kuat yang menguasai, dan yang miskin, tertinggal, tersiksa termarginal dan terbelenggu dalam keter­belakangan dan kemiskinan. Di sinilah pemerintah harus hadir. Itu ikhtiar kita sebagai bangsa. Harus melindungi se­genap bangsa ini, jiwa raganya, kalau ini tidak dipenuhi bisa saja akan mengancam sendi-sendi keutuhan NKRI.

Apa harapan Anda untuk Komnas HAM di tahun 2016 ini?

Komnas HAM selaku in­stitusi yang mendapatkan akreditasi terbaik di PBB, kita patut bersyukur, karena independensinya, beda dengan Komnas HAM lain yang bisa diatur oleh pemerintah. Jadi oleh karena itu mudah-muda­han independensi ini semakin kuat. Dan memihak kepada mereka yang tertinggal dan termarginalkan. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA