RELIGIOUS-HATE SPEECH (2)

Bentuk-bentuk Religious-Hate Speech

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Senin, 04 Januari 2016, 08:02 WIB
Bentuk-bentuk Religious-Hate Speech
nasaruddin umar:net
RELIGIOUS-HATE SPEECH (RHS) sebagai ungkapan kebencian berlatar belakang agama, kepercayaan, aliran, mazhab, sekte, dan atribut keagamaan lainnya, dapat dilakukan oleh siapapun dan kepada siapapun. Ketentu­an yang bisa digunakan uku­ran untuk menyebut sebuah perbuatan RHS sebetulnya belum diatur secara khusus. Selama ini aparat hukum kita hanya ber­pegang kepada sejumlah peraturan perundang-undangan yang sesungguhnya temanya berbe­da, meskipun bisa "diperpanjang" untuk menjerat kasus HS. Di antara UU tersebut ialah UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, khususnya pasal 28 jo. Pasal 45 ayat (2); UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapu­san Diskriminasi Ras dan Etnis, khususnya pasal 16; UU No 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial; dan yang terakhir agak kontroversi ialah Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2013 ten­tang Teknis Penanganan Konflik Sosial.

Surat Edaran Kapolri adalah referensi pal­ing jelas dan terukur tentang bentuk dan crite­ria HS. Pada nomor (2) huruf (f) Surat Edaran itu disebutkan: Ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentu­an pidana lainnya di luar KUHP, yang berben­tuk antara lain:1) Penghinaan. 2) Pencemaran nama baik. 3) Penistaan. 4) Perbuatan tidak menyenangkan. 5) Memprovokasi. 6) Mengha­sut. 7) Menyebarkan berita bohong, dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa ber­dampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial.

Ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas, bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas yang dibe­dakan dari aspek : 1) Suku. 2) Agama. 3)Aliran Kea­gamaan. 4)Keyakinan atau kepercayaan. 5)Ras. 6) Antargolongan. 7)Warna kulit. 8)Etnis. 9) Gender. 10) Kaum difabel. 11)Orientasi seksual. Bahkan Surat Edaran ini lebih terinci sampai kepada media pengungkapan HS, sebagaimana bisa dilihat pada huruf (h), yaitu: 1) Dalam orasi kegiatan kampanye. 2) Spanduk atau banner. 3) Jejaring media social. 4) Penyampaian pendapat di muka umum (demon­strasi). 5) Ceramah keagamaan. 6) Media massa cetak atau elektronik. 7)Pamflet.

Dari pengertian operasional dan bahasa teknis dalam Surat Edaran Kapolri tersebut di atas bisa menjelaskan banyak hal yang selama ini masih abal-abal. Aparat hukum, khususnya aparat ke­polisian bisa bekerja dengan tegas dengan dike­luarkannya Surat Edaran ini. Aparat kepolisian selama ini terjadang lebih banyak menjadi penon­ton di dalam menyaksikan sebuah orasi yang se­sungguhnya sangat berpotensi menyulut emosi massa. Namun pihak kepolisian juga akan ber­hadapan ancaman yang tidak ringan manakala salah tangkap. Dalam praperadilan anggota polisi sering kali dikalahkan.

Surat Edaran Kaporli ini pada mulanya menuai kontroversi, terutama muncul dari kalangan aktifis LSM, praktisi Media, dan tentu saja dari para poli­tisi, karena mereka khawatir kebebasannya bisa tereduksi atau bisa diancam dengan sanksi hokum tertentu. Namun sosialisasi dan penjelasan Kapolri yang sepertinya tidak mengenal lelah menjelaskan tujuan Surat Edaran itu, akhirnya para pihak ber­sikap diam dan sebagian ilmuan dan praktisi hukum menilai positif, karena bisa memberikan kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang abal-ab­al di dalam masyarakat selama ini. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA