MENCEGAH KONFLIK KEAGAMAAN (28)

Menguatkan Kembali Unconditional Love (2)

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Selasa, 29 Desember 2015, 09:18 WIB
Menguatkan Kembali Unconditional Love (2)
nasaruddin umar:net
CINTA Allah bersifat prim­er, sementara cinta hamba sekunder. Primer itu inti, substansi. Sebaliknya yang sekunder itu tidak substan­sial. Pemilik unconditional love yang paling sejati ialah Allah Swt. Namun manusia dituntut untuk mencontoh sifat-sifat keutamaan Tuhan sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi: Takhallaqu bi akhlaq Allah (Berakhlaklah den­gan akhlak Tuhan). Jika Tuhan Maha Mencin­ta maka kita perlu mencontoh ketulusan cinta Tuhan. Sekalpun ada makluk-Nya yang khianat dan membangkan seperti Iblis dan para pengi­kutnya dari kalangan manusia, tetap mereka mendapatkan rahmat rahmaniyah-Nya.

Wujud pengamalan unconditional love pernah ditunjukan Rasulullah Muhammad SAW ketika dilempari batu sampai tumitnya berdarah-darah oleh-orang orang Thaif. Rasul hanya tersenyum. "Aduh umatku, seandainya engkau tahu visi misi yang kubawa, engkau pasti tidak akan melakukan ini", demikian bisiknya. Ketika datang malaikat penjaga gunung Thaif menawarkan bantuan un­tuk membalas perbuatan orang-orang Thaif, Nabi berucap, "Terima kasih. Allah lebih kuasa daripa­da makhluk. Jangan diapa-apakan. Mereka han­ya tidak tahu. Kelak kalau mereka sadar, mereka akan mencintai saya".

Nabi Nuh AS pernah menyesal sejadi-jadin­ya kenapa ia pernah mendoakan umatnya bi­nasa. 950 tahun ia berdakwah mengajak ka­umnya ke jalan Allah, namun hanya segelintir yang mengikuti ajakannya. Yang lainnya ingkar sehingga Nabi Nuh berdoa kepada Allah agar dikirimkan bencana kepada kaumnya yang in­gkar itu. Maka datanglah banjir besar yang me­nenggelamkan mereka, sedangkan Nuh dan para pengikutnya sudah mempersiapkan diri dengan membuat perahu.

Ada sebuah ungkapan dari ahli hakekat: "Kalau cinta sudah meliputi segenap diri, maka tak ada lagi ruang kebencian di dalam diri seseorang. Sejelek apapun orang lain, ia tak akan membalas dengan kejelekan." Banyak ulama besar kita telah mencapai tingkatan itu. Imam Syafi'i pernah "dikerjain" oleh se­orang tukang jahit saat memesan pembuatan baju. Lengan kanan baju itu lebih besar/longgar dibanding lengan kirinya yang kecil dan sempit. Imam Syafi'i bukannya komplain dan marah kepada tukang jahit itu, malah berterima kasih. Kata Imam Syafi’i, "Ke­betulan, saya suka menulis dan lengan yang lebih longgar ini memudahkan saya untuk menulis sebab lebih leluasa bergerak".

Semakin meningkat kadar cinta maka se­makin mesra pula belaian Allah SWT. Ba­gaimanakah nikmatnya belaian Allah SWT? Bayangkanlah seorang bayi yang dibelai ibu­nya. Tersenyum, dan sekelilingnya menggoda. Itu baru belaian makhluk. Apalagi belaian Sang Pencipta. Tuhan jauh lebih mencintai hamba- Nya ketimbang seorang ibu mencintai bayinya.

Kita pun akan semakin akrab dengan Allah, dan semakin tipis garis pembatas alam gaib di hadapan kita sehingga semua rahasia akan terkuak dan semakin banyak keajaiban yang kita lihat. Seperti sepasang kekasih yang sal­ing mencintai, masih adakah rahasia antara keduanya? Ruh sifatnya tinggi dan cenderung dekat dengan Allah. Raga sifatnya rendah dan jauh dari Allah. Ruh itu terang, sedangkan raga gelap. Para sufi mengungkapkan, "Wahai raga, sibukkan dirimu dengan shalat dan puasa. Wa­hai kalbu, sibukkan dirimu dengan bisikan mu­najat kepada Allah. Wahai raga, ungkapkan iyyâka na'budu. Wahai kalbu, ungkapkan iyyâ­ka nasta’în." ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA