WAWANCARA

Susaningtyas Kertopati: Publik Perlu Kekebalan Sosial Agar Tidak Mudah Terpengaruh Propaganda Teroris

Senin, 28 Desember 2015, 08:41 WIB
Susaningtyas Kertopati: Publik Perlu Kekebalan Sosial Agar Tidak Mudah Terpengaruh Propaganda Teroris
Susaningtyas Kertopati:net
rmol news logo Sebenarnya apa yang membuat jaringan terorisme masih eksis di Indonesia? Setelah diberangus, mereka tumbuh silih berganti. Apakah kehadiran Detasemen Khusus (Densus) 88 dan BNPT (Badan Nasional Penang­gulangan Terorisme) tidak optimal?

Bekas anggota Komisi I DPR yang akrab disapa Nuning ini me­nilai kondisi tersebut terjadi lantaran publik tanpa sadar kerap terperang­kap dalam propaganda terorisme. Sehingga diperlukan kekebalan sosial bagi anggota masyarakat agar tidak mudah terpengaruh pro­paganda teroris.

"Keberhasilan gerakan teror­isme melakukan transformasi dan regenerasi sejatinya ber­muara pada ketidakpedulian kita, termasuk dengan membi­arkan polisi berada sendirian di garis depan pertempuran ini," ujar Nuning. Berikut wawancara selengkapnya;

Jadi bagaimana cara ampuh memberantas jaringan teror­isme ini?
Teroris itu extraordinary crime. Untuk itu kita harus menekankan pentingnya penan­ganan terorisme secara kompre­hensif, tak hanya oleh kepolisian semata. Namun hal itu tak terjadi disini. Buktinya, setiap kali ter­jadi penumpasan teroris selalu diwarnai dengan aksi yang me­nyudutkan kepolisian karena tewasnya para teroris.

Apa tidak ada cara lain, selain menewaskan?
Sebenarnya institusi yang paling dirugikan dengan tewas­nya tersangka adalah polisi. Karena memutus mata rantai dan menutup pintu bagi polisi untuk menguak agenda mau­pun mengurai jaringan mereka. Ironis memang, polisi yang melindungi masyarakat justru menjadi bulan-bulanan di saat berhasil menangkap para pelaku teror tersebut. Padahal kita tahu doktrin ekstrim yang digenggam para tersangka teroris. Kematian justru merupakan puncak ultima dari doktrin mereka. Tak heran jika mereka justru dengan gigih menyongsong kematian, dengan memberikan perlawanan dan tak hendak menyerah. Tentu tidak adil jika teroris yang sengaja 'bunuh diri' demi meraih 'surga' yang mereka yakini, namun poli­si yang harus menanggungnya.

Selain memperdebatkan soal HAM, banyak juga yang curiga bagaimana jika yang tewas adalah korban atau bukan teroris?
Perdebatan semacam ini sebe­narnya tidak perlu karena hanya menguras energi dan kontra produktif. Kita justru tergiring terlalu jauh, melenceng dari substansi persoalan sebenarnya. Diskursus ini seakan justru men­jadi bunker perlindungan bagi para teroris. Jangankan sampai ke akar-akarnya, baru sampai ranting saja orang telah ribut. Inilah yang justru menyebabkan gelora terorisme tak kunjung padam.

Penilaian Anda, operasi pen­angkapan teroris yang baru ini dijalankan Polri seperti apa?
Yang terpenting dalam pen­angkapan teroris itu juga harus dimanfaatkan untuk membong­kar jaringan teroris berikut embrio permasalahannya apa sehingga mereka menjadi pelaku terorisme.

Dengan rangkaian penang­kapan itu, apakah sudah cu­kup signifikan memutus ruang gerak mereka (teroris) dan bisa memastikan perayaan tahun baru kali ini berlang­sung aman?
Insya Allah aman. Tentu kita berdoa yang terbaik bagi negara kita. Tentu kita juga harus tetap waspada baik terhadap pelaku lokal maupun adanya kemung­kinan gangguan keamanan yang bisa saja dilakukan oleh Foreign Terrorist Fighting, misalnya dari Uighur di Poso. Kelompok lain yg telah mendapat pelatihan ISIS. Yang penting semua unsur masyarakat harus tingkatkan kewaspadaan karena biasanya suasana suka cita tahun baru membuat lalai untuk menjaga keamanan bukan saja di antara anggota masyarakat tapi aparat­nya juga. Segala hal yang bersi­fat anomali di lingkungan hidup kita harus menjadi perhatian dan segera dilaporkan ke pihak berwajib. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA