MENCEGAH KONFLIK KEAGAMAAN (22)

Perlu Ketegasan Para Ulama

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Rabu, 23 Desember 2015, 09:14 WIB
Perlu Ketegasan Para Ulama
nasaruddin umar:net
KECENDERUNGAN berkembangnya kelompok radikal keagamaan di dalam masyarakar tidak bisa dibiar­kan. Jika terlambat bersikap terhadap kelompok ini maka bangsa Indonesia akan ke­hilangan wajah kedamaian­nya. Penyimpangan makna dan praktek jihad yang di­lakukan oleh sekelompok masyarakat muda tidak bisa dibiarkan. Para ulama, khususnya Majlis Ulama Indonesia (MUI) sebagai peme­gang otoritas keabsahan nilai-nilai keagamaan (Islam) harus berani bicara keluar (speak out) agar mayarakat umum tidak bingung. Di dalam NKRI sudah ada pembagian tugas antara pe­merintah (umara') dan ahli agama Islam ('ula­ma'). Urusan sosial politik kenegaraan menjadi domain umara sedanglan urusan keagamaan, khususnya legalitas formal hukum agama Is­lam, menjadi domain ulama.

Diamnya kelompok mainstream, khususnya para ulama, dan lebih khusus lagi MUI terhadap tindakan pemyimpangan makna jihad dan mere­baknya isu pengkafiran (takfiri) bisa menimbul­kan multi tafsir. Pertama, mereka setuju terh­adap sebagian atau seluruh tuntutan kelompok minoritas-radikal itu. Ini bisa ditafsirkan ada konspirasi antara kelompok mayoritas dan mi­noritas. Kedua, mereka tidak berdaya dan tidak berani mengambil alih klaim jihad dan tuntutan kelompok radikal karena boleh jadi institusi Is­lam mainstream dan tokoh-tokohnya menjadi sub-sistem terhadap sistem besar yang me­nyebabkan lahirnya mismanagement umat. Ini mengisyaratkan terjadinya inferiority complex kelompok mainstream. Ketiga, karena repre­sentasi ulama tidak tahu apa yang sesungguh­nya terjadi dan tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan. Mereka seperti kata Clifford Geertz, kebingungan karena masa depan itu datang lebih awal melampaui kecepatan mereka me­nyiapkan diri, sehingga terjadi multiple shock di dalam diri mereka. Ini artinya visi kelompok minoritas-radikal dalam mempersiapkan umat masa depan lebih siap.

Keempat, mereka menyadari posisinya sep­erti simalakama lalu menganggap diam seba­gai jawaban terbaik sambil memikirkan solusi yang lebih konstruktif. Ini artinya para ulama yang kemudian diikuti kelompok mainstream melakukan pembiaran sejarah umat berproses tanpa panduan jelas. Kelima, representasi ula­ma dan kelompok mainstream muslim sudah cair dengan kepentingan fragmatisnya masing-masing. Yang penting diri dan keluarga mere­ka aman, job/pekerjaan dapat dipertahankan, sambil tetap memelihara kesalehan individual mereka. Gambaran mereka tentang jihad ter­gantung siapa yang dihadapi. Ada kalanya mer­eka menggambarkan jihad secara rasional dan ada kalanya menggambarkannya secara emo­sional. Jika demikian adanya maka sedang ter­jadi pemunafikan atau hipokritisasi di dalam tu­buh mainstream muslim. Hipokritas masyarakat akibatnya jauh lebih parah dari pada hipokritas individual.

Ulama Indonesia di mata dunia, bukan han­ya dalam dunia Islam tetapi dunia internasion­al, sangat diperhatikan. Sebagai ilustrasi, fat­wa-fatwa MUI dijadikan referensi penting bagi ulama-ulama di kawasan Asia Tenggara. Ini membuktikan bahwa selain kapasitas ulama In­donesia yang dianggap mumpuni juga karena mewakili negara muslim terbesar. Dalam per­temuan internasional, ulama-ulama dan ilmuan Islam dari Indonesia cukup diisegani. Pendapat-pendapatnya sering dirujuk di dalam masalah-masalah tertentu. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA