Diamnya kelompok mainstream, khususnya para ulama, dan lebih khusus lagi MUI terhadap tindakan pemyimpangan makna jihad dan mereÂbaknya isu pengkafiran (takfiri) bisa menimbulÂkan multi tafsir. Pertama, mereka setuju terhÂadap sebagian atau seluruh tuntutan kelompok minoritas-radikal itu. Ini bisa ditafsirkan ada konspirasi antara kelompok mayoritas dan miÂnoritas. Kedua, mereka tidak berdaya dan tidak berani mengambil alih klaim jihad dan tuntutan kelompok radikal karena boleh jadi institusi IsÂlam mainstream dan tokoh-tokohnya menjadi sub-sistem terhadap sistem besar yang meÂnyebabkan lahirnya mismanagement umat. Ini mengisyaratkan terjadinya inferiority complex kelompok mainstream. Ketiga, karena repreÂsentasi ulama tidak tahu apa yang sesungguhÂnya terjadi dan tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan. Mereka seperti kata Clifford Geertz, kebingungan karena masa depan itu datang lebih awal melampaui kecepatan mereka meÂnyiapkan diri, sehingga terjadi multiple shock di dalam diri mereka. Ini artinya visi kelompok minoritas-radikal dalam mempersiapkan umat masa depan lebih siap.
Keempat, mereka menyadari posisinya sepÂerti simalakama lalu menganggap diam sebaÂgai jawaban terbaik sambil memikirkan solusi yang lebih konstruktif. Ini artinya para ulama yang kemudian diikuti kelompok mainstream melakukan pembiaran sejarah umat berproses tanpa panduan jelas. Kelima, representasi ulaÂma dan kelompok mainstream muslim sudah cair dengan kepentingan fragmatisnya masing-masing. Yang penting diri dan keluarga mereÂka aman, job/pekerjaan dapat dipertahankan, sambil tetap memelihara kesalehan individual mereka. Gambaran mereka tentang jihad terÂgantung siapa yang dihadapi. Ada kalanya merÂeka menggambarkan jihad secara rasional dan ada kalanya menggambarkannya secara emoÂsional. Jika demikian adanya maka sedang terÂjadi pemunafikan atau hipokritisasi di dalam tuÂbuh mainstream muslim. Hipokritas masyarakat akibatnya jauh lebih parah dari pada hipokritas individual.
Ulama Indonesia di mata dunia, bukan hanÂya dalam dunia Islam tetapi dunia internasionÂal, sangat diperhatikan. Sebagai ilustrasi, fatÂwa-fatwa MUI dijadikan referensi penting bagi ulama-ulama di kawasan Asia Tenggara. Ini membuktikan bahwa selain kapasitas ulama InÂdonesia yang dianggap mumpuni juga karena mewakili negara muslim terbesar. Dalam perÂtemuan internasional, ulama-ulama dan ilmuan Islam dari Indonesia cukup diisegani. Pendapat-pendapatnya sering dirujuk di dalam masalah-masalah tertentu. ***