Jual Aset Obligor BLBI Tanpa Lelang, Kajati Maluku Dicopot

Tak Terima, Gugat Jaksa Agung ke PTUN

Jumat, 11 Desember 2015, 09:30 WIB
Jual Aset Obligor BLBI Tanpa Lelang, Kajati Maluku Dicopot
Chuck Suryo Sumpeno:net
rmol news logo Chuck Suryo Sumpeno dicopot dari Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku. Chuck diduga melakukan pelanggaran berat ketika menjabat Kepala Pusat Pemulihan Aset (PPA) Kejaksaan Agung. Aset obligor BLBI Hendra Rahardja dijual tanpa lewat lelang.

Jaksa Agung Muda Pengawasan (JAMWas) Widyo Pramono mengumumkan pencopotan Chuck. "Ketika menjabat Kepala Tim Satgasus, ada beberapa hal yang dilanggar," ungkapnya.

Surat pencopotan Chuck di­teken Jaksa Agung MPrasetyo pada 18 November 2015. Surat telah dikirim ke kantor Chuck di Maluku.

Inspektur V JAMWas Rosiana Napitupulu menambahkan, Chuck diduga melanggar prose­dur dalam menangani barang si­taan perkara. Semestinya, barang sitaan perkara dilelang untuk mengganti kerugian negara.

Kejagung menyita aset tanah obligor BLBI Hendra Rahardja di Puri Kembangan Jakarta Barat, Jatinegara Jakarta Timur, dan Puncak Bogor Jawa Barat.

"Tanpa ada proses lelang, Kepala PPA waktu itu lang­sung melakukan negosiasi kepada pihak yang ingin mem­beli aset sitaan berupa tanah," bebernya.

"Prinsipnya, tiga tanah perka­ra hasil sitaan negara itu dijual tidak melalui proses lelang," lanjut Rosiana.

JAMWas menganggap Chuck melanggar disiplin dan etika ke­jaksaan yang diatur PP Nomor 53 tahun 2015. "Pelanggaran disiplin berat," tandas Rosiana.

Kuasa hukum Chuck, Sandra Nangoi mengatakan, kliennya kaget menerima surat pemberhentian dari Kajati Maluku. Surat dari Kejagung yang dikirim lewat pos itu diterima staf Tata Usaha Kejati. Baru sampai ke tangan Chuck pada 4 Desember lalu.

"Aneh, apa pertimbangannya mengirim SK pemberhentian itu melalui pos?" kata Sandra.

Dalam surat itu disebutkan, Chuck dicopot setelah Jaksa Agung mempertimbangkan hasil pemeriksaan tim gabungan JAMWas pada 3 Juni 2015.

Sandra mengatakan, Chuck keberatan jika tindakannya se­masa menjabat Kepala PPA dianggap melanggar disiplin berat. "Itu menunjukkan ketakpahaman jaksa dalam membedakan definisi barang sitaan perkara dengan tugas serta kewenangan Satgasus PPA dalam memulih­kan aset-aset hasil rampasan," katanya.

Ia lalu menjelaskan, ta­nah seluas 45 hektare di Puri Kembangan, Jakarta Barat milik Hendra Rahardja bukanlah hasil sitaan perkara. Tanah itu ram­pasan tim pemulihan aset.

Lantaran itu, PPAtak perlu menjual aset itu lewat lelang. "Aset tanah itu bukan berstatus sita eksekusi jadi tidak bisa dile­lang," ujar Sandra.

Penjualan aset rampasan PPAitu, lanjut Sandra, telah dikoor­dinasikan dengan Jaksa Agung saat itu, Basrif Arief. Tindakan Chuck menawarkan kepada calon pembeli sudah sepengeta­huan pimpinan.

Mengenai pemeriksaan pada 3 Juni 2015, menurut Sandra, Chuck tak diberi kesempatan untuk menyampaikan bukti-bukti. "Semestinya sesuai ketentuan, terperiksa diberikan kesem­patan selama 14 hari untuk menyampaikan hak jawab atau membela diri. Tapi ini tidak ada sama sekali," ungkapnya.

Menganggap pencopotan­nya tak sesuai prosedur, Chuck melakukan perlawanan. "Kami lawan putusan Jaksa Agung dengan mendaftarkan gugatan ke PTUN pada 4 Desember lalu," sebut Sandra.

Kilas Balik
Tilep Triliunan Dana BLBI, Yang Kembali Cuma Miliaran

 Bank Harapan Sentosa (BHS) milik Hendra Rahardja menerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) mencapai Rp 2,6 triliun. Di pengadilan, kakak kandung Edy Tansil itu terbukti melakukan korupsi BLBIdan dijatuhi hukuman pen­jara seumur hidup.

Namun, sebelum putusan keluar, Hendra lebih dulu kabur ke Australia hingga akhirnya meninggal di Sydney. Pemerintah pun melacak asetnya untuk disita guna mengganti kerugian negara. Pelacakan hingga ke luar negeri.

Hendra diketahui memilikiaset di Australia. Yusril Ihza Mahendra selaku Menteri Kehakiman saat itu mengeluar­kan keputusan Nomor M-47-PR.09.02 Tahun 2003 tentang Panitia Persiapan Pembentukan Tim Gabungan Pengumpulan Data Aset Hendra Rahardja di Australia.

Yusril menunjuk Direktur Jenderal AHU Zulkarnain Yunus sebagai ketua tim. Hasilnya, pemerintah Australia merespons dengan mengirim Menteri Kehakiman dan Bea-Cukai Australia Chris Ellison bertemu dengan Duta Besar Indonesia di Australia, Imron Cotan, pada 20 April 2004.

Chris menyerahkan cek senilai 634 ribu dolar Australia hasil dari perampasan aset Hendra Raharja di negaranya. Uang itu kemudian disimpan dalam rekening Departemen Kehakiman (kini Kementerian Hukum dan HAM).

Keberadaan rekening nomor 11779855 Departemen Kehakiman itu dibeberkan Direktur Pelaporan Keuangan Kementerian Keuangan Hekinus Manao. Ketika ditutup dana yang tersisa di rekening tinggal Rp 5 juta.

Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata kala itu kaget mengetahui ada rekening pe­nampungan pelacakan aset BLBIini. "Saya baru tanya ke Biro Keuangan, kenapa dana BLBI ada di Depkumham. Kenapa mesti ada di sana?"

Dana di rekening itu kemudian ditransfer ke rekening Kejaksaan Agung. "Sudah masuk ke rekening kita sekitar 4 miliar," kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejagung saat dijabat Marwan Effendy.

Meski jumlahnya jauh pang­gang dari api dibanding besaran uang yang ditilap Hendra, na­mun penyerahan aset dari negara tetangga tersebut merupakan langkah yang baik. "Bukan soal uangnya, tapi bentuk kerja sama yang baik perlu diapresiasi," kata Marwan.

Dia berharap langkah Pemerintah Australia diikuti negara lain, seperti Singapura danHong Kong. Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Australia, Brendan O'Connor, menyerahkan dana lebih dari 493 ribu dolar Australia. Dana itu diperoleh dari kegiatan ilegal mendiangHendra di negeri kanguru itu.

Dana diserahkan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA