Dari hasil penelusuran Komnas HAM, apakah potensi terÂjadinya kehilangan hak pilih masih banyak terjadi?Sebenarnya ini agak masif ya, kepentingan ini belum sepÂenuhnya diwadahi, terjadi di mana-mana. Misalnya di daerah pegunungan yang tidak tercatat secara kependudukan, tidak terdaftar di kelurahan atau di dusunnya.
Contoh kasus yang Anda temui?Misalnya di pedalaman Sulawesi Barat, di perbatasan Mamuju Utara, ada sekian banÂyak warga di sana yang tidak ada pemanggilan untuk ke TPS, karena dia tidak punya data kependudukan. Belum lagi di Lembaga Pemasyarakatan, di penjara masih ada saja yang mempersyaratkan KTP tempat dia ditahan. Ini kan ada dari kabupaten lain, dari kabupaten A misalnya, tapi penjaranya di kabupaten lain dan akhirnya tak dapat hak pilih. Ada juga penyanÂdang disabilitas yang terkendala karena tak mempersiapkan kertas suara khusus tunanetra. Ada juga tempat pencoblosan suara yang tidak memungkinkan bagi yang berkursi roda. Jadi persoalanÂnya ini semua sangat kompleks, sehingga tidak memungkinkan yang disabilitas ini terwadahi hak-hak politiknya. Ini merupaÂkan catatan-catatan penting bagi pembenahan ke depan.
Hal seperti itu apa bisa dikatakan sebagai pelanggaÂran HAM?Ya. Karena itu kan hak-hak politiknya tidak terwadahi, nah ini menjadi tanggung jawab suatu negara. Sangat fundaÂmental.
Untuk menangani itu semua apa yang dilakukan Komnas HAM?Ya kami berdialog dan berÂtemu banyak pihak, termasuk KPU, Bawaslu, DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu), kami buat rekomendasi supaya ini menjadi catatan pentÂing bagi perjalanan demokrasi ini ke depan. Sebab kita tidak ingin bangsa ini hanya milik satu kelompok ini atau kelompok itu. Mereka yang tergolong kelÂompok masyarakat yang tidak beruntung juga harus diperlakuÂkan sama.
Sejauh ini, apa belum ada upaya untuk mengakomodir rekomendasi-rekomendasi Komnas HAM?Memang ada upaya yang diÂlakukan oleh KPU, tapi belum maksimal.
Selain itu apa lagi catatan penting lainnya untuk pemÂbenahan ke depan?Isu yang sangat krusial dari perspektif HAM itu berkisar pada lima hal. Pertama, harus dipastikan setiap warga negara dapat terwadahi hak-hak poliÂtiknya. Siapa pun, termasuk penyandang disabilitas. Di sini kelihatannya ada kesulitan untuk memenuhi hak-hak penyandang disabilitas, baik tuna rungu, tuna netra, yang berkursi roda, mereka yang ada di penjara, ruÂmah sakit, di daerah perbatasan, rawan konflik, dan ini jumlahnya cukup signifikan. Ditambah lagi yang usia lanjut.
Jumlahnya berapa banyak?Jumlahnya itu bisa 20 persen dari jumlah penduduk. Hampir seratus kali lebih besar dibandÂing jumlah penduduk Brunai. Atau enam kali lebih besar dari penduduk Singapura dan lebih besar dari jumlah penduduk Australia. Itu yang pertama. Yang kedua, persoalan diskrimiÂnasi. Misalnya ada intervensi dari pihak tertentu yang diberi hak pilih hanya yang bisa menÂguntungkan calon A atau calon B, sehingga ada rekayasa-rekaÂyasa untuk memenangkan calon A atau calon B dengan tidak dikirimkan surat pemanggilan ke kotak-kotak suara. Itu terjadi di berbagai tempat. Yang ketiga, keunikan daerah seringkali tidak diwadahi. Misalnya di Papua, Bali. Keempat, daerah rawan konflik dan bencana. Hal-hal seperti ini tidak boleh satu orang warga pun yang tidak dipenuhi hak politiknya.
Yang paling mencolok, perÂsoalan apa sebenarnya yang masih sering terjadi?Persoalan besar yang kami lihat di lapangan, dan kami coba bandingkan dengan pengalaman bangsa-bangsa lain, di negara yang baru berdemokrasi meÂmang ada tiga penyakit besar, di antaranya money politics. Tapi
money politics di kita, tidak hanya dari yang berkepentingan menang, tapi rakyat pun juga sudah terbiasa pragmatis. Dia senang jika dikasih amplop sebelum memilih. Misalnya di Sulawesi Barat, ada saja warga yang berdiri di pinggir jalan menÂerima serangan fajar. Kemudian persoalan besar ke dua, untuk memenuhi lima hal tadi yang saya sampaikan, yaitu penyÂalahgunaan kekuasaan, ada diÂnasti politik. Misalnya di Goa, di Sulawesi Selatan, di Banten, dan daerah lain. Ini sangat mengkhaÂwatirkan. ***