Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Seni Kompromi Ala Slipi

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/m-a-hailuki-5'>M.A. HAILUKI</a>
OLEH: M.A. HAILUKI
  • Senin, 02 November 2015, 18:04 WIB
<i>Seni Kompromi Ala Slipi</i>
DI luar dugaan, konflik Partai Golkar berakhir lebih cepat dari yang diperkirakan, kedua pihak yang bertikai, kubu Aburizal Bakrie dan Agung Laksono bersepakat untuk melakukan rekonsiliasi politik yang ditandai dengan digelarnya Silaturahmi Nasional (Silatnas) di kantor DPP Partai Golkar, Slipi, Jakarta, Minggu, 1 November 2015. Merupakan sebuah pencapaian positif telah ditorehkan para politisi partai beringin dimana mereka mampu kembali duduk bersama setelah melalui konflik yang cukup tajam, mengingat konflik yang berlangsung selama setahun belakangan tidak sekadar persengketaan hukum, melainkan juga sampai kepada pendudukan kantor dan bentrok fisik para kadernya.

Sebagai sebuah partai politik, Golkar menunjukkan kelas kedewasaannya, perpecahan yang sempat terjadi di dalam tubuh partai dapat dicegah agar tidak semakin dalam. Tak sedikit publik yang mengira, konflik Golkar akan berujung kepada lahirnya sebuah partai politik baru di Indonesia, sebagaimana yang terjadi pada periode sebelumnya, dimana kekalahan Surya Paloh dalam Musyawarah Nasional (Munas) Golkar di Riau pada 2009 menjadi pangkal kehadiran partai Nasional Demokrat (NasDem) sebagai saluran politik baru sebagian elit  Golkar yang terlibat dalam kontestasi kala itu.

Terlepas siapa aktor yang terlibat secara determinan dalam pagelaran Silatnas Minggu malam, entah Jusuf Kalla, Akbar Tanjung atau Luhut Panjaitan­, yang jelas kemampuan para elit Golkar dalam mengelola konflik internal saat ini patut diacungi jempol. Bagaimanapun rekonsiliasi yang telah dicapai antara kubu ARB dan Agung Laksono menunjukkan kepiawaian dan keindahan seni rekonsiliasi, yaitu konsensus politik.

Meski dalam Silatnas dikemukakan bahwa rekonsolisiasi dilakukan dalam rangka menghadapi perhelatan pemilukada serentak pada Desember 2015, sesungguh ada hal substansial yang lebih pada dari itu, yaitu konsolidasi demokrasi. Pada umumnya, dengan menilik konflik yang terjadi di beberapa partai politik lain pada akhirnya cenderung melahirkan partai baru. Meski tidak diharamkan, namun amat disayangkan, mengingat transisi demokrasi di Indonesia yang telah berjalan sejak 1998 hingga sekarang, diharapkan mengarah kepada konsolidasi demokrasi dimana salah satu indikatornya adalah penyederhanaan jumlah partai politik yang ada.

Bersatunya kembali Golkar merupakan bagian dari wujud penguatan kelembagaan politik yang harus diberi apresiasi. Partai politik bukanlah laboratorium yang didalamya sekadar praktek uji coba serta eksperimen politik, tetapi ada sebuah tanggung jawab untuk mencerdaskan publik melalui distribusi nilai-nilai demokrasi. Begitu pula dalam hal pengelolaan konflik, sudah sepantasnya pertikaian yang ada diselesaikan dalam bingkai konsolidasi demokrasi dimana salah satunya adalah efisiensi dan efektivitas.

Konflik internal partai yang berkepanjangan disertai dengan perpecahan yang melahirkan partai baru tidak sejalan dengan pembangunan demokrasi yang menghendaki adanya efisiensi dan efektivitas. Kelahiran partai baru di satu sisi dijamin oleh konstitusi dan hak asasi, namun di sisi lain justru membuat sistem politik menjadi tidak efisien, bertambahnya jumlah parpol membuat efektivitas terbuang percuma, energi yang semestinya digunakan untuk proses politik yang menghasilkan Output bagi publik, malah dipakai para elit untuk berkonflik.

Role Model Kompromi

Keteladan dalam mewujudkan konsensus juga telah dicontohkan oleh Partai Demokrat, di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak ada aksi ‘buldozer’ yang dilakukan terhadap sekelompok elit yang diidentifikasi sebagai para ‘loyalis Anas’. Setelah terpilih menjadi ketua umum secara bulat mufakat dalam Kongres Partai Demokrat di Surabaya pada 2015, SBY lebih memilih pendekatan konsensus dalam mengelola konflik yang ada di tubuh Demokrat. Sebagai partai politik modern, Demokrat memberi ruang kepada semua faksi internal termasuk pendukung Marzuki Alie untuk menunjukkan komitmennya melakukan konsolidasi demokrasi, indikatornya, tidak ada aksi pecat atau recall bagi anggota Fraksi Partai Demokrat di DPR yang dianggap loyalis Anas maupun Marzuki. Dengan kata lain, Demokrat telah ikut melakukan pembangunan politik dan konsolidasi demokrasi dengan menjaga efisiensi dan efektivitas di internal partai.

Proses politik yang terjadi di Golkar dan Demokrat bisa dijadikan role model bagi partai politik lain yang tengah seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan juga partai politik belum mengalami konflik. Karena salah satu hakekat dari politik adalah terwujudnya konsensus dan konflik, keduanya merupakan pilihan logis yang bisa diambil oleh para aktor yang terlibat hubungan relasi elit di internal partai. Pendekatan konsensus yang diambil Golkar dan Demokrat menunjukkan derajat kematangan pendidikan politik yang dimiliki para elit-elitnya, sebuah konflik tidak mesti berujung kepada perpecahan, tidak perlu diwarnai aksi pecat-memecat kepengurusan, tidak harus melahirkan partai sempalan, namun bisa diselesaikan secara elegan dan indah melaluli jalan kompromi politik.

Sebagaimana dikatakan Maurice Duverger (1972), mencapai kompromi adalah salah satu dari fungsi politik yang utama. Di dalam masyarakat demokratis, lembaga-lembaga terutama disesuaikan dengan tujuan ini. Proses-proses demokratis tidak saja berlaku untuk mengungkapkan pergolakan politik oleh cara-cara nonviolent, mereka juga ditentukan untuk memutuskan konflik-konflik ini dengan kompromi. Pada substansinya, kompromi politik adalah memberikan ‘kue’ menjadi beberapa bagian, memberikan separuhnya kepada yang lainnya. Kompromi yang ideal dan sempurna akan membuat keseimbangan antara keutungan dan pengorbanan dari setiap pihak yang bertikai.

Namun kompromi bukanlah akhir dari konflik, akan tetapi hanya sebuah ‘gencatan senjata’ sebagai akibat dari keseimbangan kekuasaan, tahapan selanjutnya adalah mempermanenkan kompromi menjadi sebuah kebijakan yang mengikat seluruh pemangku kepentingan. Penting bagi partai politik lain untuk belajar bagaimana berbagi kepentingan guna tidak terjadi fenomena aksi bumi hangus, karena partai politik sebagai salah satu simbol demokrasi harus melakukan distribusi nilai-nilai, termasuk di dalamnya adalah konsensus.

Partai politik modern haruslah menyelesaikan konflik secara modern, bukan dengan pendekatan konflik seperti aksi main pecat kepengurusan sebagaimana ditunjukkan beberapa partai yang ada di Indonesia. Dengan kata lain, tidak boleh ada frasa ‘harga mati’ dalam pengelolaan konflik di tubuh partai politik yang modern sepanjang tidak bersinggungan dengan ideologi partai atau negara.
Apabila partai-partai politik di Indonesia bisa mengelola konflik internalnya dengan lebih mengedepankan pendekatan konsesus ketimbang konflik, maka arah demokrasi kita tentu menjadi semakin baik.

Kualitas demokrasi menjadi semakin berbobot tidak saja secara prosedural tetapi juga subtansial, partai politik mempunyai tanggung jawab guna mencegah terjadinya pembusukan demokrasi (the decay of democracy) seperti yang Samuel Huntinton (1965) ungkapkan bahwa kecenderungan di negara-negara berkembang demokrasi dijalankan secara serampangan oleh elit-elitnya sehingga alih-alih membawa kemaslahatan justru sebaliknya malah membawa negara kepada kegagalan dan kekecewaan publik terhadap jalan demokrasi pada akhirnya membuka kembali jalan bagi kemunculan rezim otoritarian.

Perlu ada kesadaran di antara para elit di setiap partai politik bahwa merupakan tanggung jawab bersama untuk mencegah terjadinya pembusukan demokrasi, jangan sampai menjadi ironi justru malah partai politik yang melakukan pembusukan terhadap demokrasi. Apa yang dilakukan para politisi senior seperti Jusuf Kalla, Akbar Tanjung, Aburizal Bakrie, Agung Laksono, Luhut Panjaitan  (Golkar) dan SBY (Demokrat) dalam mengelola konflik internal tidak hanya bisa menjadi inspirasi, namun juga pantas kiranya menempatkan mereka pada sebuah predikat seniman politik, karena sebagaimana dikatakan Stephen L. Wasby (1971), dalam prakteknya politik adalah seni.

Penulis adalah pengurus Ikatan Alumni Ilmu Politik IISIP Jakarta & mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA